Sukuk dalam Pengkajian Ekonomi Islam

sukuk

  1. A.    Pengertian Obligasi dan Sukuk
    1. 1.      Pengertian Obligasi

Obligasi berasal dari bahasa Belanda yaitu “Obligatie” yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan “obligasi” yang berarti ‘kontrak’. Dalam Keputusan Presiden RI Nomor 775/KMK 001/1982 disebutkan bahwa obligasi adalah jenis efek berupa surat pengakuan utang atas pinjaman uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya tiga tahun dengan menjanjikan imbalan bunga, yang jumlah serta saat pembayarannya telah ditentukan terlebih dahulu oleh emiten atau Badan Pelaksana Pasar Modal (Abdul Manan:2010).[1]

Menurut Drs. Bambang Riyanto, obligasi merupakan suatu pengakuan hutang yang dikeluarkan oleh pemerintah atau perusahaan atau lembaga-lembaga lain sebagai pihak yang berhutang yang mempunyai nilai nominal tertentu dan kesanggupan untuk membayar bunga secara periodic atas dasar persentase tertentu yang tetap.[2]

Sedangkan dalam buku pengantar ekonomi perusahaan, diberi batasan bahwa yang dimaksud dengan obligasi adalah suatu surat tunda hutang yang dikeluarkan umumnya oleh perseroan terbatas dan mendapat bunga setiap tahun sekalipun suatu perseroan tidak mendapatkan laba dalam tahun tertentu, namun perusahaan harus membayar bunga bagi para pemegang obligasi. Bunga ini besarnya sudah ditentukan terlebih dahulu dan dicantumkan dalam obligasi yang bersangkutan.[3]

Dalam literatur lain, secara sederhana obligasi dapat diartikan dengan “suatu istilah yang digunakan dalam dunia keuangan yang merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran.”[4]

Pengertian lainnya, obligasi atau bond, adalah surat hutang jangka panjang yang dikeluarkan oleh emiten (peminjam) dapat berupa badan hukum/ perusahaan atau pemerintah yang memerlukan dana untuk kebutuhan operasi maupun ekspansi mereka, dengan kewajiban untuk membayar kepada bond holder (pemegang obligasi) sejumlah bunga tetap yang telah ditetapkan sebelumnya. Investasi pada obligasi memiliki potensial keuntugan lebih besar dari pada produk perbankan.Keuntugan berivestasi di obligasi adalah memperoleh bunga dan kemugkianan adanya capital gain.[5]

Dari penjelasn di atas dapat disimpulkan bahwa obligasi adalah pinjaman uang untuk jangka waktu yang panjang dengan dikeluarkannya surat pengakuan hutang oleh debitor yang mempunyai nominal tertentu.

  1. 2.      Pengertian Sukuk

Sukuk adalah salah satu efek[6]yang diperdagangkan di pasar modal saat ini. Baik di dunia international maupun di tingkat nasional. Instrumen keuangan ini tumbuh pesat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan instrumen keuangan konvensional lainnya.

Sukuk berasal dari kata “صكوك” bentuk jamak dari kata “صك” dalam bahasa Arab yang berarti cek atau sertifikat, atau alat tukar yang sah selain uang.[7] Kata “sukuk” pertama kali diperkenalkan kembali dan diajukan sebagai salah satu alat keuangan Islam pada rapat ulama fiqih sedunia yang diselenggarakan oleh Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 2002. Secara singkat AAOIFI (The Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions) mendefinisikan sukuk sebagai sertifikat berniliai sama yang merupakan bukti kepemilikan yang tidak dibagikan atas suatu asset, hak manfaat dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi tertentu.

Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002 Tentang Obligasi Syariah, dijelaskan obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh emiten[8] kepada investor (pemegang obligasi) yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada investor berupa bagi hasil/marjin/fee serta membayar kembali dana investasi pada saat jatuh tempo.[9]

Pada prinsipnya sukuk mirip seperti obligasi konvensional dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Selain itu, sukuk juga harus distruktur secara syariah agar instrument keuangan ini aman dan terbebas dari riba, gharar dan maysir.[10]

Sukuk dapat pula diartikan dengan efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan, yang paling tidak terbagi atas:

kepemilikan aset berwujud tertentu;

nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu; atau

kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu (Wikipedia Indonesia:2010)

Sementara itu, Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.13 memberikan definisi Sukuk sebagai berikut : “Efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak tertentu (tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share) atas:

aset berwujud tertentu (a’yaan maujudat);

nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul a’yaan) tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada;

jasa (al-khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada

aset proyek tertentu (maujudat masyru’ mu’ayyan); dan atau

kegiatan investasi yang telah ditentukan (nasyath ististmarin khashah)”

Sedangkan DR.Hussein Syahattah, pakar ekonomi syariah ternama di Mesir, menjelaskan mengenai sukuk dalam makalahnya yang berjudul “Tasaaulat Haula as-Shukuk al Islamiyyah wal Ijaabah ‘Alaiha”  (”Berbagai Pertanyaan Seputar Sukuk dan Jawabannya”), sebagai berikut:

“تقوم فكرة الصكوك الإسلامية على المشاركة في تمويل مشروع أو عملية استثمارية متوسطة أو طويلة الأجل وفقًا لقاعدة “الغُنْم بالغُرْم” (المشاركة في الربح والخسارة) على منوال نظام الأسهم في شركات المساهمة المعاصرة ونظام الوحدات الاستثمارية في صناديق الاستثمار؛ حيث تؤسس شركة مساهمة لهذا الغرض، ولها شخصية معنوية مستقلة، وتتولى هذه الشركة إصدار الصكوك اللازمة للتمويل وتطرحها للاكتتاب العام للمشاركين، ومن حق كل حامل صك المشاركة في رأس المال والإدارة والتداول والهبة والإرث ونحو ذلك من المعاملات المالية.”

“Sukuk Islami berdiri di atas landasan musyarakah (kerja sama keterlibatan) dalam mendanai sebuah proyek atau dapat juga dikatakan sebagai usaha investasi jangka menengah dan jangka panjang yang sesuai dengan kaidah “al-ghunmu bil ghurmi” (keterlibatan yang sama dalam keuntungan dan kerugian) dalam sistem saham di perusahaan-perusahaan saham modern dan dalam sistem unit investasi di pasar-pasar investasi. Di mana perusahaan emiten merancang sistem penerbitan sukuk yang mempunyai karakteristik tersendiri. Perusahaan emiten inilah yang bertanggung jawab dalam penerbitan sukuk yang diperlukan untuk pembiayaan proyek dan melemparkan tawaran ke pasar modal bagi para investor. Pemegang sukuk berhak untuk bermusyarakah dalam modal, pengelolaan, distribusi, hibah, waris, dan lainnya yang berkaitan dengan muamalah maaliyah.”.

  1. B.     Landasan Hukum Islam Mengenai Obligasi dan Sukuk
    1. 1.      Landasan Hukum Obligasi
      1. a.      Landasan Al-Quran

Dalil mengenai obligasi dalan Al-Quran berkaitan dengan dalil umum pengharaman riba dikarenakan dalam sistem obligasi konvensional pihak pemegang obligasi berhak mendapatkan bunga tetap sebagai imbalan atas investasi yang telah dipercayakan kepada perusahaan. Diantaranya ayat Al-Quran yang berbunyi:

” وَأَحَلَّ اللَّهُ البَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ” (البقرة: 275)

Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS Al-Baqarah ayat 275)

  1. b.      Landasan Hadits dan Riwayat (Atsar) Sahabat

Dalil mengenai pengharaman obligasi disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah SAW dan atsar sahabat Rasulullah SAW, diantaranya:

  1. Menurut Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatha’ diterangkan bahwa:

“Yahya meriwayatkan kepadaku (Imam Malik) dari Malik bahwa ia mendengar tanda terima atau resit kwitansi (sukukun) dibagikan pada penduduk pada masa Marwan Ibn al-Hakam untuk barang-barang yang berada di pasar al-jar. Penduduk membeli dan menjual kwitansi atau resit tersebut diantara mereka sebelum mereka mengambil barangnya. Zayd Ibn Tsabit bersama seorang sahabat Rasulullah Saw, pergi menghadap Marwan Ibn al-hakam dan berkata, “ Marwan! Apakah engkau menghalalkan riba?” Ia menjawab, “ Naudzubillah! Apakah itu?” Ia berkata, “Resit-resit ini yang dipergunakan penduduk untuk berjual-beli sebelum menerima barangnya. “Marwan kemudian mengirim penjaga untuk mengikuti mereka dan mengambilnya dari penduduk kemudian mengembalikannya pada pemilik asalnya.

 

 

 

Riwayat ini menunjukkan keharaman surat jaminan karena dua hal yaitu:

Apa yang dilakukan oleh masyarakat dalam riwayat tersebut sesungguhnya adalah jual beli utang yang diharamkan oleh Allah SAW dan Rasulullah SAW. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:

أن النبي نهى عن الكلئ بالكالــــــــــئ” اخرجه الحاكم في المستدرك

Nabi SAW melarang jual beli hutang dengan hutang (Diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam kitabnya Mustadrak)

Mengandung unsur riba nasi’ah pada pertukaran (sarf) barang yang sejenis dengan penambahan nilai.

Hadits Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:

لاَ تَبِيْعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيْعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيْعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ.

“Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.”

  1. c.       Pendapat Ulama Fiqih

Sebagian besar ulama Islam kontemporer melarang jual beli obligasi konvensional dalam semua jenis dan secara keseluruhan, serta menganggap bahwa hukumnya haram mutlak. Para ulama yang berpendapat seperti itu ialah Syaikh Shaltut, Muhammad Yusuf Mussa, Syaikh Yusuf Qardawi, Abdul Aziz al Kahiat, Ali al Salus, dan Saleh Marzuki dengan memberi petunjuk fiqih yang menjadi dasar keluarnya fatwa larangan tersebut yaitu:

Obligasi konvensional yang dikeluarkan oleh perusahaan atau pemerintah dianggap sama seperti utang yang di dalamnya terdapat bunga. Bunga ini bisa dikategorikan sebagai riba nasiah yang diharamkan oleh Islam.

Utang obligasi sama dengan deposito yang disimpan dalam bank, dan hitungan bunga atas obligasi dianggap sama dengan bunga deposito, walaupun uang dari obligasi itu bisa diinvestasikan secara khusus setelah diserahkan kepada pihak yang mengeluarkan obligasi serta dijamin atas pengembaliannya setelah jatuh tempo plus tambahnya (bunga). Cara ini dianggap sama saja dengan utang yang dipakai untuk produksi yang dikenal di zaman jahiliah dan diharamkan oleh Al-Qur’an dan Sunah.

 

  1. 2.      Landasan Hukum Sukuk

Adapun dalil yang berkenaan dengan kebolehan Sukuk berdasarkan yang tercentum dalam Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional adalah sebagai berikut:

Firman Allah SWT, QS. Al-Ma’idah [5]:1

يَاْاَيُّهَااَّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اَوْفُوْا بِاْلعُقُوْدِ

Hai orang – orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu

Firman Allah SWT, QS. Al-Isra’ [17]: 34

وَاَوْفُوْا بِاْلعَهْدِ اِنَّ اْلعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً

“……dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”

 

Hadis Nabi SAW:

عن عمرو بن عوف المزاني قال رسول الله ص م : الصّلْح جائز بين الْمسلمين الا صلْحا حرّم حلالا أَو أَحلّ حراما والْمسلمون علَى شروطهِم إلا شرطا حرّم حلالا أو أحلّ حراما (رواه امام الترمذى)

“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”(HR.Tirmidzi)

Hadis Nabi riwayat Imam Ibnu Majah, al-Daruquthni, dan yang lain, dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi SAW bersabda:

(لا ضرر و لا ضرار (رواه ابن ماجه والدارقطني وغيرهما

“Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain.”

Kaidah Fiqih:

الأصل فى العادات العفو فلا يحظر منه الا ما حرم الله

“Hukum asal dalam adat/kebiasaan adalah boleh, kecuali apa-apa yang diharamkan oleh Allah.”

الاصل فى المعاملات الاباحــــــة إلا أن يدل الدليل على تحريمـــــه

“Hukum asal muamalah itu adalah boleh kecuali jika ada dalil yang mengharamkan

المشقة تجلب التيسير

“Kesulitan dapat menarik kemudahan”

الحاجة قد تنزل منزلة الضرورة

“Keperluan dapat menduduki posisi darurat”

الثابت بالعرف كالثابت بالشرع

“Sesuatu yang berlaku berdasarkan kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat)”

Pendapat Ulama

Fatwa Dewan Syari`ah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Sukuk (Obligasi syari`ah) adalah surat berharga berjangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikelurkan emitten kepada pemegang obligasi syariah, tersebut berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.”

Karakteristik dan istilah sukuk merupakan pengganti dari istilah sebelumnya yang memggunakan istilah bond, dimana istilah bond mempunyai makna loan (hutang), dengan menambahkan Islamic maka kontradiktif maknanya karena biasanya yang mendasari mekanisme hutang (loan) adalah interest (bunga), sedangkan dalan Islam interest tersebut termasuk riba yang diharamkan. Untuk itu sejak tahun 2007 istilah bond ditukar dengan istilah Sukuk sebagaimana disebutkan dalam peraturanm di Bapepam LK.

Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf memberikan pandangan bahwa penjualan sesuatu/properti yang belum diterima oleh si penjual namun sudah jelas keberadaan fisiknya (dapat dicek keberadaannya) adalah diperbolehkan. Maka dari sinilah pondasi instrument bernama sukuk di abad modern ini bermula.

  1. C.    Perkembangan Sukuk

Sukuk sudah pakai sebagai salah satu alat pembayaran sejak awal islam dimana jatah (santunan negara) atau gaji para pegawai negara kadangkala dibayar dengan memakai kertas tersebut. Dalam sejarah disebutkan bahwa khalifah Umar Ibn al-Khatab adalah khalifah pertama yang membuat shak dengan membubuhkan setempel dibawah kertas shak tersebut.

ü  Perkembangan Pasar Sukuk Global

Dalam perkembangannya, the Islamic Jurispudence Council (IJC) kemudian mengeluarkan fatwa yang mendukung berkembangnya sukuk. Hal tersebut mendorong Otoritas Moneter Bahrain (BMA – Bahrain Monetary Agency) untuk meluncurkan sukuk berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dolar AS pada tahun 2001. Kemudian Malaysia pada tahun yang sama meluncurkan global corporate Sukuk di pasar keuangan Islam internasional. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul di pasar internasional.

Selanjutnya, penerbitan sukuk di pasar internasional terus bermunculan bak cendawan di musim hujan. Tidak ketinggalan, pemerintahan di dunia Islam pun mulai melirik hal tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2002 pemerintah Malaysia menerbitkan sukuk dengan nilai 600 juta dolar AS dan terserap habis oleh pasar dengan cepat, bahkan sampai terjadi over subscribe. Begitu pula pada Desember 2004, pemerintah Pakistan menerbitkan sukuk di pasar global dengan nilai 600 juta dolar AS dan langsung terserap habis oleh pasar. Dan masih banyak contoh lainnya.

Perkembangan dana keuangan Islam di berbagai lembaga keuangan islam seluruhnya mencapai US $ 1.3 triliun yang dikelola lebih kurang 300 institusi lembaga keuangan disekitar 75 negara yang  tersebar dari  London, New York dan Zurich hingga ke Timur  Tengah, afrika dan Asia. Adapun pasar keungan Islam diperkirakan berjumlah US$ 400 miliyar dengan tingkat perkembangan rata-rata 12%-15%. Seperti yang dilaporkan oleh IIFM pada bulan september 2006, Negara-negara yang paling maju dalam mengmbangkan keuangan Islam adlah Malysia, Kuwait, Saudi Arabia, United arab Emirates (UEA). Kingdom of Bahrain, dan Qatar. Dimana negara-negara tersebut telah sampai pada level peningkatan inovasi bisnis dan memiliki kemampuan ekpansi pasar yang berkelanjutan.

Negara-negara seperti Brunei, Indonesia, Afrika Selatan, Maroko, Turki, dan Pakistan sedang berusaha mengjar pada level berikutnya, yaitu sebagai kompetitor dalam pengembangan dan ekspansi pasar yang diterima masyarakat luas. Adapun negara-negara yang sedang untuk mengembang kan keungan Islam adlah Syiria, Lebanon, Germany, USA, dan Singapore. Dan untuk negara-negara china, India, Hongkong, dan Australia masih menanti dan mengamati peluang pasar.

Adapun perkirakan perkembangan keuangan Islam berikutnya akan lebih cepat, walaupun saat ini  market share masih relatif kecil. Perkembangan pasar sukuk global saat ini telah meningkat dan cukup matang, hal ini dimulai dari kesadaran para investor dan penetiban sukuk untuk menggunakan momentum peningkatan harga minyak wangi dewasa ini.

Adapun untuk katagori Sukuk Negara, maka yang terbesar adalah UEA yaitu 45%, kemudian menyusul Bahrain 17%, dan Saudia Arabia 7%, Malaysia 6%. Saat jumlah Sukuk negara telah mencapai 76 Sukuk dengan total jumlah US$ 1,2 Miliar (LMC, Juni 2007).

ü  Sukuk di Tanah Air

Di Indonesia payung hukum yang menjadi landasan penerbitan obligasi sukuk, adalah UU No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah. Menurut perkembangan, pencarian format landasan hukum penerbitan payung hukum tentang surat berharga syariah ini, sesunggunya telah mulai proses panjang, yaitu sejak tahun 2003 ketika Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menyuarakan penerbitan  sukuk untuk menangkap peluang investasi sekaligus perkembangan perekonomian syariah di Indonesia. DSN-MUI juga telah melontarkan ide amandemen Undang-Undang Nomor 2002 tentang Surat Utang Negara  tetapi ide ini juga kandas. Pada tahun 2005, DSN-MUI kembali mengajukan usulan agar pemerintah segera mengeluarkan Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah, usaha tersebut telah berhasil dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 19 tahun 2008 tersebut.

PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menerbitkan Obligasi PLN XII Tahun 2010 senilai maksimal Rp 2,5 triliun dan Sukuk Ijarah PLN V Tahun 2010 senilai maksimal Rp 500 miliar. Dana yang diperoleh dari Penawaran Umum ini setelah dikurangi dengan biaya-biaya emisi seluruhnya akan digunakan untuk mendanai kegiatan investasi jaringan distribusi tenaga listrik.

Berikut ini nama daftar perusahaan emitten sukuk di Indonesia 2012-2013 (masih berlaku, sumber: http://www.sahamok.com):

ü  PT. Adhi Karya (persero) Tbk.

ü  PT. Bank Syariah Muamalat Tbk.

ü  PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero) Tbk.

ü  PT. Aneka Gas Industri

ü  PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk.

ü  PT. Indosat Tbk.

ü  PT. Berlian Laju Tanker Tbk.

ü  PT. Mitra Adiperkasa Tbk.

ü  PT. Matahari Putra Prima Tbk.

ü  PT. Pupuk Kalimantan Timur Tbk.

ü  PT. Salim Ivomas Pratama Tbk.

ü  PT. Lotte Chemical Titan Nusantara

ü  PT. Sumberdaya Sewatama

ü  PT. Adira Dinamika Multi Finance Tbk.

ü  Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat

ü  PT. Mayora Indah Tbk.

 

  1. D.    Karakteristik Obligasi dan Sukuk

Sebagai salah satu efek syariah sukuk memiliki karakteristik yang berbeda dengan obligasi. Sukuk bukan merupakan surat utang, melainkan bukti kepemilikan bersama atas suatu aset/proyek. Setiap sukuk yang diterbitkan harus mempunyai aset yang dijadikan dasar penerbitan (underlying asset). Klaim kepemilikan pada sukuk didasarkan pada aset/proyek yang spesifik. Penggunaan dana sukuk harus digunakan untuk kegiatan usaha yang halal. Imbalan bagi pemegang sukuk dapat berupa imbalan, bagi hasil, atau marjin, sesuai dengan jenis akad yang digunakan dalam penerbitan sukuk.[11]

Sedangkan dalam literatur lain disebutkan bahwa karakteristik sukuk adalah: (Depkeu:2010)

merupakan bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak manfaat;

pendapatan berupa imbalan, marjin, dan bagi hasil, sesuai jenis akad yang digunakan;

terbebas dari unsur riba, gharar, dan maisir;

penerbitannya melalui Special Purpose Vehicle (SPV);

memerlukan underlying asset; dan,

penggunaan proceds (hasil jual) harus sesuai prinsip syariah.

DR. Hussein Syahattah menjelaskan karakteristik sukuk dengan :

Satuan unit investasi pokok modal sukuk mempunyai nilai yang rata dan sama, jumlah sukuk yang dimiliki investor menggambarkan persentase kepemilikan dan haknya terhadap bagian yang tidak tertentu (tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share) dari aset suatu proyek yang sedang berlangsung.

Aset yang dijadikan dasar sukuk dapat berwujud aset tetap, aset yang beredar, atau hak-hak maknawiyah, dan sebagainya.

Peredaran sukuk harus melalui perantaraan sistem dan proses yang diperbolehkan secara syar’i dan juga undang-undang. Di mana investor (pemegang sukuk) mempunyai hak untuk memindahkan kepemilikan, menggadaikan, menghibahkan, dan transaksi keuangan melalui perusahaan perantara atau badan lainnya yang mendapatkan izin sesuai undang-undang yang berlaku.

Sukuk Islami mempunyai sifat dasar keterlibatan yang sama dala keuntungan dan kerugian, sebagaimana dalam saham.[12]

 

  1. E.     Perbandingan Antara Obligasi Konvensional dan Sukuk

Menurut Hamidi: 2003, dalam harga penawaran,  jatuh tempo, pokok obligasi saat jatuh tempo, dan rating antara Sukuk dengan Obligasi Konvensional tidak ada bedanya. Perbedaan keduanya terdapat pada pendapatan dan return, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

Keterangan Sukuk Obligasi Konvensional
Harga Penawaran 100% 100%
Jatuh Tempo 5 tahun 20 tahun
Pokok Obligasi saat jatuh tempo 100% 100%
Pendapatan Bagi Hasil Bunga
Return 15,5-16% indikatif 15,5-16% tetap
Rating AA+ AA+

MI. Sigit Pramono dan A. Aziz Setiawan (2008:8) mengemukakan perbandingan kedua obligasi tersebut di atas dengan memasukkan obligasi mudarabah dan obligasi ijarah sebagai berikut:

Perbandingan Obligasi dan Sukuk

Obligasi Konvensional Syariah Mudharabah Syariah Ijarah
Akad (Transaksi) Tidak Ada Mudharabah (Bagi Hasil) Ijarah (Sewa/Lease)
Jenis Transaksi Uncertainty Contract Certainty Contract
Sifat Surat Hutang Investasi Investasi
Harga Penawaran 100% 100% 100%
Pokok Obligasi saat Jatuh Tempo 100% 100% 100%
Kupon Bunga Pendapatan/Bagi Hasil Imbalan/Fee
Return Float/Tetap Indikatif berdasarkan Pendapatan/Income Ditentukan sebelumnya
Fatwa Dewan Syariah Nasional Tidak Ada No. 33/DSN-MUI/IX/2002 No: 41/DSN-MUI/III/2004
Jenis Investor Konvensional Syariah/Konvensional Syariah/Konvensional

Departemen Keuangan (2010) mengemukakan perbedaan obligasi dan sukuk sebagai berikut:

Deskripsi Sukuk Obligasi
Penerbit Pemerintah, Korporasi Pemerintah, Korporasi
Sifat Instrumen Sertifikat kepemelikan/penyertaan atas suatu aset Instrumen pengakuan hutang
penghasilan Imbalan, bagi hasil, margin Bunga/kupon, capital gain
Jangka waktu Pendek-menengah Menengah-panjang
Underlying asset Perlu Tidak perlu
Pihak yang terkait Obligor, SPV, investor, trustee Obligor/issuer, investor
Harga Market price Market price
Investor Islami, konvensional konvensional
Pembayaran pokok Bullet atau amortisisasi Bullet atau amortisisasi
Penggunaan hasil penerbitan Harus sesuai syariah bebas

Adam & Thomas (2004), halaman 54, menjelaskan perbedaan antara obligasi, sukuk, dan saham, sebagai berikut:

Selain itu, untuk mempertegas perbedaan keduanya, dapat dilihat dalam pelaksanaanya, yaitu haruslah sesuai dengan prinsip syariah. Sapto Raharjo, 2003; 144-145, mengemukakan bahwa secara umum, ketentuan mekanisme mengenai obligasi syariah adalah sebagai berikut:

  1. Sukuk haruslah berdasarkan konsep syariah yang hanya memberikan pendapatan kepada pemegang obligasi dalam bentuk bagi hasi atau revenue sharing serta pembayaran utang pokok pada saat jatuh tempo.
  2. Sukuk mudarabah yang diterbitkan harus berdasarkan pada bentuk pembagian hasil keuntungan yang telah disepakati sebelumnya serta pendapatan yang diterima harus bersih dari unsure non-halal.
  3. Nisbah (rasio bagi hasil) harus ditentukan sesuai kesepakatan sebelum penerbitan obligasi tersebut.
  4. Pembagian pendapatan dapat dilakukan secara periodik atau sesuai ketentuan bersama, dan pada saat jatuh tempo hal itu diperhitungkan secara keseluruhan.
  5. Sistem pengawasan aspek syariah dilakukan oleh DPS atau oleh Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI.
  6. Apabila perusahaan penerbit obligasi melakukan kelalaian atau melanggar syarat perjanjian, wajib dilakukan pengembalian dana investor dan harus dibuat surat pengakuan utang.
  7. Apabila emiten berbuat kelalaian atau cedera janji, maka pihak investor dapat menarik dananya.
  8. Hak kepemilikan sukuk mudarabah dapat dipindahtangankan kepada pihak lain sesuai kesepakatan akad perjanjian.[13]

 

  1. F.     Jenis-jenis Obligasi dan Sukuk
    1. 1.      Jenis Obligasi yang Dikenal di Indonesia

Macam-macam obligasi yang dikenal di pasar Indonesia:[14]

  1. a.      Berdasarkan penerbitan

  Obligasi pemerintah pusat

  Obligasi pemerintah daerah

  Obligasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

  Obligasi perusahaan swasta

  1. b.      Berdasarkan Jaminan

  Unsecured bonds/ debentures atau obligasi tanpa jaminan

  Indenture atau Obligasi dengan jaminan

  Mortgage bondatau obligasi yang dijamin dengan property

  Collateral trust atau obligasi yang dijamin dengan sekuritas

  Equipment trust certifivates atau obligasi yang dijamin asset tertentu

  Collateralized mortage  atau obligasi yang dijamin pool of mortage atau portofolio mortage-backed securities.

  1. c.       Berdasarkan Jenis Kupon

  Fixed rate, obligasi yang memberikan tingkat kupon tetap sejak diterbitkan hingga jatuh tempo

  Floating rate, obligasi yang tingkat bunganya mengikuti tingkat kupon yang berlaku di pasar

  Mixed rate, obligasi yang memberikan tingkat kupon tetap  untuk periode tertentu.

  1. Berdasarkat peringkatnya

  Investment grade bonds, minimal BB+

  Non-investment-grade bonds, CC atau speculative bond dan D atau junk bond.

  1. e.       Berdasarkan Ada Tidaknya Kupon

  Coupon bonds pada obligasi berkupon

  Zero coupon bonds, untuk obligasi nirkupon.

  1. f.       Berdasarkan call fenture

  Freely callable bond, obligasi yang dapat ditarik kembali oleh penerbitnya setiap waktu sebelum masa jatuh tempo

  Non-callable bond, setelah obligasi diterbitkan dan terjual,tidak dapat dibeli atau ditarik kembali oleh penerbitnya sebelum obligasi tersebut jatuh tempo.

  Deffered callable bond adalah kombinasi antara Freely callable bonddengan Non-callable bond.

  1. g.      Berdasarkan konversi

  Convertible bond, obligasi yang dapat ditukarkan saham setelah jangka waktu tertentu.

  Non-convertible bond, obligasi yang tidak dapat dikonversi menjadi saham.

  1. Jenis obligasi lainya

  Income bond, obligasi yang membayarkan kupon jika emiten penerbitnya mendapatkan laba.

  Guaranteed boond, obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan cabang tetapi tidak didukung oleh perusahaan induk.

  Participating bond, obligasi yang memiliki hak menerima atas laba selain penghasilan bunga secara periodic.

  Voting bond, obligasi yang mempunyai hak suara.

  Serial bond, obligasi yang pelunasannya berdasarkan nomor seri.

  Inflation Index bond, atau disebut juga treasury inflation protection securities (TIPS), obligasi yang nilai nominalnya (principal) selalu disesuaikan dengan tingkat inflasi yang sedang berlaku.

  1. 2.      Jenis Sukuk yang Dikenal di Indonesia

Berbagai jenis struktur sukuk yang dikenal secara internasional dan telah mendapatkan endorsement dari The Acounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institusions (AAOIFI) dan diadopsi dalam UU No.19 Tahun 2008 tentang SBSN, antara lain:[15]

  1. Sukuk ijarah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad ijarah, yang satu pihak bertindak sendiri atau melalui wakilnya menjual atau menyewakan hak guna (manfaat) suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga sewa dan periode sewa yang disepakati tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri. Sukuk ijarah dibedakan menjadi Ijarah al-Muntahiyah Bittamlik (Sale and Lease Back) dan Ijarah Headlease and Sublease.

Untuk lebih jelasnya lihat skim ijarah berikut (MI. Sigit Pramono dan A. Aziz Setiawan (2008:9):

Contoh skim ijarah bisa dilihat pada penerbitan obligasi ijarah Matahari Departemen Store. Perusahaan ritel ini mengeluarkan obligasi ijarah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan untuk menyewa ruangan usaha dengan akad wakalah. Matahari bertindak sebagai wakil untuk melaksanakan ijarah atas ruangan usaha dari pemiliknya (pemegang obligasi/investor). Ruang usaha yang disewa adalah Cilandak Town Square di Jakarta. Ruang usaha tersebut dimanfaatkan Matahari sesuai dengan akad wakalah, yang atas manfaat tersebut Matahari melakukan pembayaran sewa (fee ijarah) dan pokok dana obligasi. Fee ijarah dibayarkan setiap tiga bulan, sedangkan dana obligasi dibayarkan pada saat pelunasan obligasi. Jangka waktu obligasi tersebut selama lima tahun (MI. Sigit Pramono dan A. Aziz Setiawan (2008:9).

  1. Sukuk mudarabah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad mudarabah yang merupakan satu bentuk kerjasama, yang satu pihak menyediakan modal (rabb al-mal) dan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian (mudarib), keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan perbandingan yang telah disetujui sebelumnya. Kerugian yang timbul akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak penyedia modal.

Untuk lebih jelasnya lihat skim mudarabah berikut MI. Sigit Pramono dan A. Aziz Setiawan (2008:9):

Sebagai contoh, Berlian Laju Tanker telah menerbitkan obligasi mudarabah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan untuk membeli kapal tanker (66%) dengan tambahan modal kerja perusahaan (34%). Obligasi berjangka waktu 5 tahun yang dicatakan di BES dan KSEI ini memperoleh keuntungan dari bagi hasil berdasarkan pendapatan perseroan dari pengoperasian kapal tanker MT Gardini atau kapal lain yang beroperasi untuk melayani Pertamina, sehingga return-nya berubah setiap tahun sesuai pendapatan (MI. Sigit Pramono dan A. Aziz Setiawan (2008:9).

c. Sukuk musyarakah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad musyarakah yang merupakan suatu bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk menggabungkan modal yang digunakan untuk membangun proyek baru, mengembangkan proyek yang telah ada atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan atau kerugian yang timbul akan ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing-masing.

  1. Sukuk istishna’, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad istishna’ yang merupakan suatu bentuk perjanjian jual beli antara para pihak untuk pembiayaan suatu proyek. Adapun cara, jangka waktu, dan harga ditentukan oleh berdasarkan kesepakatan para pihak.

Jenis sukuk berdasarkan Standar Syariah AAOIFI No.17 tentang Investment Sukuk, terdiri dari :

Sertifikat kepemilikan dalam aset yang disewakan.

Sertifikat kepemilikan atas manfaat, yang terbagi menjadi 4 (empat) tipe : Sertifikat kepemilikan atas manfaat aset yang telah ada, Sertifikat kepemilikan atas manfaat aset di masa depan, sertifikat kepemilikan atas jasa pihak tertentu dan Sertifikat kepemilikan atas jasa di masa depan.

Sertifikat salam.

Sertifikat istishna.

Sertifikat murabahah.

Sertifikat musyarakah.

Sertifikat muzara’a.

Sertifikat musaqa.

Sertifikat mugharasa.

Sementara itu Academy for International Modern Studies (AIMS) mengklasifikasikan jenis sukuk: Sukuk mudharabah, sukuk musyarakah, sukuk ijarah, sukuk murabahah, sukuk salam, sukuk istishna, sukuk hybrid.

Di samping itu, AIMS juga membagi sukuk menjadi empat kelompok berdasarkan aset atau proyek yang menjadi dasar transaksinya, sebagai berikut:

Sukuk yang mewakili kepemilikan pada aset berwujud (sebagian besar berupa transaksi sale and lease back atau direct lease);

Sukuk yang mewakili kemanfaatan atau jasa (mendasarkan pada transaksi sub lease atau penjualan jasa/sale of service);

Sukuk yang mewakili bagian ekuitas dalam usaha atau portofolio investasi tertentu (berdasarkan akad musyarakah atau mudharabah);

Sukuk yang mewakili piutang atau barang yang diterima di masa depan (berdasarkan murabahah, salam, atau istishna).

Atas dasar proyek atau aset yang mendasarinya tersebut di atas, sukuk dapat juga dikelompokkan menjadi dua yaitu sukuk yang dapat diperdagangkan dan sukuk yang tidak dapat diperdagangkan. Sukuk yang dapat diperdagangkan (tradable sukuk) adalah sukuk yang mewakili aset berwujud atau porsi kepemilikan dari usaha atau portofolio investasi tertentu. Contohnya : sukuk ijarah, sukuk mudharabah, atau sukuk musyarakah. Sementara sukuk yang mewakili piutang dalam bentuk uang maupun barang tidak dapat diperdagangkan (non-tradable sukuk). Contohnya : sukuk salam, sukuk istishna, atau sukuk murabahah.

MI.Sigit Pramono dan A. Aziz Setiawan (2008:8) mengemukakan paling tidak terdapat enam akad penting yang dapat menjadi basis pengembangan obligasi syariah. Empat di antaranya telah disebutkan di atas (yaitu akad ijarah, mudarabah, musyarakah, dan istishna’), dua yang lainnya adalah 1) murabahah yaitu akad jual beli barang yang pembeli dapat membayar harga barang yang disepakati pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati, penjual dapat menambah marjin pada harga pokok barang yang dijual tersebut; dan 2) salam yang merupakan kontrak jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.

Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Bab XXV, Pasal 605 (Suyud Margono dkk., 2009: 136) disebutkan bahwa “penerbitan obligasi dapat digunakan antara lain dalam transaksi: a. mudarabah/muqaradah; b. qirad; c. musyarakah; d. murabahah; e. salam; f. istishna’; dan g. ijarah.”

Ketentuan di atas sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah. Dalam ketentuan khusus fatwa tersebut nomor 1 disebutkan bahwa “Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain: a. mudarabah (muqaradah)/ qirad; b. musyarakah; c. murabahah; d. salam; e. istishna’; f. ijarah.”

Di samping jenis-jenis di atas ada beberapa jenis sukuk lainnya, diantaranya:

  1. Sukuk Mudharabah Konversi, yaitu sukuk mudharabah dengan opsi investor dapat mengkonversi sukuk menjadi saham emitten pada saat jatuh tempo (maturity).
  2. Sukuk Korporasi, yaitu jenis sukuk yang diterbitkan suatu perusahaan yang memenuhi prinsip syariah.
  3. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan Sukuk Negara Ritel. SBSN atau dapat disebut sukuk Negara, adalah surat berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. Menurut fatwa DSN No. 69/DSN-MUI/VI/2008, Surat Berharga Syariah Negara atau dapat disebut Sukuk Negara adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian ( حصة ) kepemilikan aset.

Sedangkan Sukuk Negara Ritel adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang diperuntukkan bagi investor individu warga negara Indonesia. Sukuk Negara Ritel diterbitkan dalam bentuk tanpa warkat (scripless), namun kepada para investor akan diberikan Surat Bukti Kepemilikan.

Dalam UU No 19/2008 dikatakan bahwa underlying aset adalah aset SBSN, dimana aset SBSN adalah obyek pembiayaan SBSN dan/atau barang milik negara  (BMN) yang memiliki nilai ekonomis, berupa tanah dan/atau bangunan maupun selain tanah dan/atau bangunan, yang dalam rangka penerbitan SBSN dijadikan sebagai dasar penerbitan SBSN. Adapun yang dimaksud  barang milik negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau berasal dari  perolehan lain yang sah.

Tujuan utama pemerintah menerbitkan sukuk negara adalah untuk membiayai APBN, termasuk membiayai  pembangunan proyek. Sebagaimana disebutkan pada pasal 4 UU SBSN bahwa tujuan SBSN diterbitkan adalah untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek. Proyek yang dapat dibiayai dengan sukuk negara adalah sektor energi, telekomunikasi, perhubungan, pertanian, industri manufaktur, dan, perumahan. Adapun manfaat dari penerbitan sukuk ini antara lain adalah:

1)      Memperluas basis sumber pembiayaan anggaran negara;

2)      Memperkaya instrumen pembiayaan fiskal.

3)      Memperluas dan mendiversifikasi basis investor SBN.

4)      Mendorong pertumbuhan dan pengembangan pasar keuangan syariah di dalam negeri;

5)      Mengembangkan alternatif instrumen investasi.

6)      Menciptakan benchmark di pasar keuangan syariah.

7)     Mengoptimalkan pemanfaatan Barang Milik Negara dan mendorong tertib administrasi pengelolaan Barang Milik Negara.

Departemen Keuangan sebagai pihak yang merepresentasikan pemerintah menegaskan bahwa dalam setiap penerbitan sukuk atau surat berharga syariah negara, tidak ada aset negara yang dijual atau digadaikan.

Ketentuan penggunaan aset negara sebagai underlying asset penerbitan sukuk diatur dalam UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara adalah sebagai berikut:

a.       Hanya hak manfaat atas aset SBSN yang dijual/disewakan kepada SPV yang dibentuk Pemerintah berdasarkan UU No. 19 tahun 2008.

b.      Tidak ada pemindahan hak kepemilikan (legal title) BMN (Barang Milik Negara).

c.       Tidak ada pengalihan fisik BMN, sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas kepemerintahan.

d.      Aset SBSN bukan sebagai jaminan (collateral).

Saat jatuh tempo Sukuk Negara atau terjadi default (gagal bayar), BMN tetap dikuasai pemerintah berdasarkan purchase & sale undertaking agreement. DPR memberikan persetujuan atas jumlah SBSN/Sukuk Negara yang diterbitkan dan atas jumlah aset SBSN yang dipergunakan dalam penerbitan Sukuk Negara dimaksud.

  1. G.    Prinsip dan Etika Islam Berkaitan dengan Sukuk

Sukuk sebagai salah satu instrument investasi yang beredar di pasar modal perlu diatur sedemikian rupa dengan batasan dan aturan syariah (dhawabith syar’iyyah) yang ketat, baik aturan yang mengikat secara umum, maupun aturan yang mengikat secara khusus tergantung jenis akad yang dipilih dalam penerbitan sukuk, oleh karena itu Majma’ Fiqh al-Islami no.5 tahun 1988 tentang aturan-aturan sukuk, yaitu:

Dhabith (aturan) 1: Sukuk harus mewakili kepemilikan atas suatu bagian yang tidak dapat dibagi (dipisahkan) dari suatu proyek yang dilakukan emitten (penerbit sukuk), baik untuk membangun proyek tersebut, atau untuk mendanainya. Dan kepemilikan itu terus berlaku selama proyek berlangsung hingga akhir masa proyek. Konsekuensi dari kepemilikan ini adalah si pemegang sukuk (investor) berhak atas seluruh hak yang disepakati dan berhak melakukan transaksi yang sesuai dengan syariah mengingat sukuk dapat mewakili aset-aset proyek baik yang nyata (berwujud) ataupun maknawiyah.

Dhabith (aturan) 2 : Adanya akad dalam sukuk, dengan landasan; syarat-syarat akad ditentukan pada awal ketika sukuk diterbitkan dalam draft syarat dari penerbit/perjanjian perwaliamanatan sukuk (nusyrah ishdar); ijab terjadi melalui proses penawaran sukuk ke pasar modal (al-iktitab), dan qabul terjadi dengan ada persetujuan dengan pihak emitten penerbit sukuk (al-muwafaqah). Kecuali jika saat kesepakatan awal mengatakan bahwa itu adalah ijab, maka itu menjadi ijab, dan proses penawaran adalah qabul-nya. [16]Di dalam draft syarat penerbitan saat awal penerbitan sukuk (perjanjian perwaliamanatan sukuk) harus terkandung di dalamnya seluruh penjelasan yang harus dilengkapi sesuai syariah yang menggambarakan sukuk tersebut; baik itu penjelasan mengenai besaran modal pokok, pembagian keuntungan (bagi hasil), serta menjelaskan syarat-syarat khusus terkait penerbitan sukuk tersebut, dan tentunya seluruh syarat tersebut harus sesuai dengan hukum-hukum syariah.

Dhabith (aturan) 3: Sukuk haruslah bisa diterima sebagai alat transaksi/beredar setelah selesai masa penawaran sukuk di pasar perdana – dengan catatan bahwa hal itu diizinkan oleh pihak yang bersekutu—dengan memperhatikan syarat-syarat berikut:

  1. Jika underlying asset merupakan sebuah proyek sosial setelah pencatatan, dam sebelum proses pengerjaan proyek masih berupa uang, maka perputaran sukuk dianggap sebagai pertukaran uang dengan uang, maka berlakulah hukum sharf. Yaitu, adanya serah terima langsung di tempat akad sebelum berpisah, tidak ada khiyar, kesetaraan (sama jumlah); sebagaimana jual beli uang yang sama jenisnya, yakni patokannya adalah nilai nominal yang dibayarkan, jika sukuk tersebut diperjualbelikan maka tidak boleh ada nilai tambah atau kurang. [17]

Dalil: Hadits Nabi riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi s.a.w. bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ.

“(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.”
  1. Jika underlying asset berupa utang, maka dalam peredaran sukuk harus menerapkan hukum bermuamalah dengan utang. [18]

Dalil : Hadits Rasulullah SAW,

أن النبي نهى عن الكلئ بالكالــــــــــئ” اخرجه الحاكم في المستدرك

Nabi SAW melarang jual beli hutang dengan hutang (Diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam kitabnya Mustadrak)

  1. Jika underlying asset berupa berbagai wujud yang bercampur baur yang mencakup uang, utang, aset berwujud, aset manfaat; maka peredaran sukuk boleh sesuai dengan harga yang disepakati dengan saling ridha antara investor dengan obligor. Kondisi yang sering terjadi adalah campuran antara aset berwujud dengan aset manfaat. [19]

Perlu juga memperhatikan syarat-syarat berikut dalam pembuatan draft syarat penerbitan sukuk (perjanjian perwaliamanatan sukuk): yaitu bentuk (shigah) akad yang dipakai harus memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya; serta tidak mengandung syarat yang bertentangan dengannya, diantaranya:

  1. Harus dituliskan dalam perjanjian tersebut siap berkomitmen terhadap hukum prinsip syariah Islam, serta dengan dibentuknya/adanya Dewan Pengawas Syariah yang mengawasi setiap proses.
  2. 2.      Harus disebutkan pembatasan zona investasi dan menentukan jenis akad pembiayaan yang dipakai dalam penerbitan sukuk tersebut, apakah ijarah, mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, atau muzara’ah.
  3. 3.      Tidak boleh mencantumkan jaminan terhadap bagian aset peserta (investor) tertentu, atau jaminan dari keterpotongan keuntungan, atau segala sesuatu yang dikaitkan dengan modal pokok; karena dengan adanya pencantuman demikian akan membatalkan syarat dhaman. [20]
  4. 4.      Tidak boleh dicantumkan dalam perjanjian tersebut syarat bahwa salah satu peserta (investor) harus menjual bagiannya, meskipun syarat tersebut mu’allaq (bersyarat) atau diidhafahkan dengan masa yang akan datang. Yang diperbolehkan hanyalah janji penjualan (wa’d lil ba’i), dengan kondisi tersebut jual beli tidak sempurna tanpa sempurnanya akad, dan dengan nilai besaran yang disepakati keduabelah pihak dan juga dinilai pantas oleh para pakar.
  5. 5.      Tidak boleh mengandung unsur kesepakatan yang membuka kemungkinan dipotongnya keuntungan perusahaan, jika kesepakatan demikan terjadi maka syarat tersebut batal, akad tetap sah, dan bagi hasil tetap berlangsung sebanding dengan jumlah modal.

Hadits Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, Nabi s.a.w. bersabda:

اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.

Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.

Konsekuensi dari hal itu:

  1. a.      Tidak boleh mensyaratkan besaran jumlah tertentu (nilai tetap) bagi pihak pemegang sukuk, atau bagi pihak penyelenggara proyek (emitten).
  2. b.      Bagian yang dibagi adalah keuntungan sesuai dengan makna syariah, yakni “kelebihan dari modal pokok”, bukan al-iiraad atau al-ghullah.
  3. c.       Penghitungan keuntungan dan kerugian haruslah diberitahukan kepada investor atau di bawah pengawasannya.
  4. 6.      Pembagian hak atas keuntungan haruslah dilakukan secara nyata, yaitu dengan cara dibagikan.

Hadits Rasulullah SAW :

وَعَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ قَيْسٍ قَالَ: ( سَأَلْتُ رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ رضي الله عنه عَنْ كِرَاءِ اَلْأَرْضِ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ? فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِهِ, إِنَّمَا كَانَ اَلنَّاسُ يُؤَاجِرُونَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى الْمَاذِيَانَاتِ, وَأَقْبَالِ اَلْجَدَاوِلِ, وَأَشْيَاءَ مِنْ اَلزَّرْعِ, فَيَهْلِكُ هَذَا وَيَسْلَمُ هَذَا, وَيَسْلَمُ هَذَا وَيَهْلِكُ هَذَا, وَلَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ كِرَاءٌ إِلَّا هَذَا, فَلِذَلِكَ زَجَرَ عَنْهُ, فَأَمَّا شَيْءٌ مَعْلُومٌ مَضْمُونٌ فَلَا بَأْسَ بِهِ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Hanzhalah Ibnu Qais Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku bertanya kepada Rafi’ Ibnu Khadij tentang menyewakan tanah dengan emas dan perak. Ia berkata: Tidak apa-apa. Orang-orang pada zaman Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menyewakan tanah dengan imbalan pepohonan yang tumbuh di tempat perjalanan air, pangkal-pangkal parit, dan aneka tumbuhan. Lalu dari tetumbuhan itu ada yang hancur dan ada yang selamat, sedang orang-orang tidak mempunyai sewaan lainnya kecuali ini. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang hal itu. Adapun imbalan dengan barang yang nyata dan terjamin, maka tidak apa-apa. Riwayat Muslim.

Merujuk kepada fatwa-fatwa DSN yang berkaitan dengan sukuk, beberapa prisnip yang wajib diterapkan dalam sukuk diantaranya:

  1. Akad-akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain akad Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna, dan Ijarah. Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten kepada pemegang sukuk harus bersih dari unsur non halal. (Fatwa No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah).
  2. Nisbah keuntungan bagi hasil dalam sukuk mudharabah harus ditentukan sesuai kesepakatan sebelum penerbitan sukuk. Selanjutnya, pembagian pendapatan (hasil) dapat dilakukan secara periodik sesuai kesepakatan, dengan demikian pada saat jatuh tempo diperhitungkan secara keseluruhan.(Fatwa DSN No.33)

عَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-; ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ, أَوْ زَرْعٍ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَفِي رِوَايَةٍ لَهُمَا: فَسَأَلُوا أَنْ يُقِرَّهُمْ بِهَا عَلَى أَنْ يَكْفُوا عَمَلَهَا وَلَهُمْ نِصْفُ اَلثَّمَرِ, فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( نُقِرُّكُمْ بِهَا عَلَى ذَلِكَ مَا شِئْنَا, فَقَرُّوا بِهَا, حَتَّى أَجْلَاهُمْ عُمَرُ )

Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah-buahan dan tanaman. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat Bukhari-Muslim: Mereka meminta beliau menetapkan mereka mengerjakan tanah (Khaibar) dengan memperoleh setengah dari hasil kurma, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Kami tetapkan kalian dengan ketentuan seperti itu selama kami menghendaki.” Lalu mereka mengakui dengan ketetapan itu samapi Umar mengusir mereka.

  1. Memerlukan underlying asset; sehingga tidak masuk ke dalam pengharaman jual beli utang atau jual beli hal yang tidak dimiliki.

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ وَحُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ عَنْ يَزِيدَ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Telah mengabarkan kepada kami ‘Amru bin Ali dan Humaid bin Mas’adah dari Yazid, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ayyub dari ‘Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak halal jual beli dengan syarat diberi hutang, serta dua syarat dalam jual beli serta menjual apa yang tidak kamu miliki.” (HR Nasa’i).

  1. Jenis usaha yang dilakukan Emiten (mudarib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Ibnu Mas”ud -rodhiyallahu “anhu- telah melarang mengambil untung dari menjual anjing, melacur dan menjadi dukun.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Buyu”

  1. Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan;
  2. Harus terbebas dari riba, gharar, dan maysir;

Hadist tentang larangan riba salah satunya ditunjukkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Emas dengan emas yang sama jenisnya dan timbangannya. Perak dengan perak yang sama jenisnya dan timbangannya. Barangsiapa yang menambah atau minta tambah, itu adalah riba”. Diriwayatkan oleh Muslim.

Sementara itu, larangan terhadap kegiatan yang mengandung maysir dapat ditemukan pada QS Al-Maidah: 90

يا أيها الذين آمنوا إنما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

  1. Sistem pengawasan aspek syariah dilakukan oleh DPS atau oleh Tim Ahli syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI.
  2. Apabila perusahaan penerbit sukuk melakukan kelalaian atau melanggar syarat perjanjian, wajib dilakukan pengembalian dana investor dan harus dibuat surat pengakuan utang.
  3. Apabila Emiten berbuat kelalaian atau cedera janji, maka pihak investor dapat menarik dananya.
  4. Hak kepemilikan obligasi syariah mudarabah dapat dipindahtangankan kepada pihak lain sesuai kesepakatan akad perjanjian.
  5. Pembiayaan hanya untuk suatu transaksi atau suatu kegiatan usaha yang spesifik, dimana harus dapat diadakan pembukuan yang terpisah untuk menentukan manfaat yang timbul.
  6. Hasil investasi yang diterima pemilik dana merupakan fungsi dari manfaat yang diterima perusahaan dari dana hasil penjualan obligasi, bukan dari kegiatan usaha yang lain.
  7. Tidak boleh memberikan jaminan hasil usaha yang semata-mata merupakan fungsi waktu dari uang (time value of money).
  8. Obligasi tidak dapat dipakai untuk menggantikan hutang yang sudah ada (bay al dayn bi al dayn).

Untuk menerbitkan Obligasi Syariah, ada beberapa kriteria persyaratan yang harus dipenuhi oleh emiten, yaitu:

  1. Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi Fatwa No: 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah Islam di antaranya adalah:{(i) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; (ii) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional; (iii) usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram; (iv) usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat}
  2. Peringkat Investment Grade: {(i) memiliki fundamental usaha yang kuat; (ii) memiliki fundamental keuangan yang kuat; (iii) memiliki citra yang baik bagi public.}
  3. Keuntungan tambahan jika termasuk dalam komponen Jakarta Islamic Index (JII).

Ketentuan khusus pada sukuk berakad ijarah sebagai berikut:

  1. Objeknya dapat berupa barang (harta fisik yang bergerak, tak bergerah, harta perdagangan) maupun berupa jasa
  2. Manfaat dari objek dan nilai manfaat tersebut diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak.
  3. Ruang lingkup dan jangka waktu pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik.
  4. Penyewa harus membagi hasil manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan atau sewa/upah
  5. Pemakaian manfaat harus menjaga objek agar manfaat yang diberikan oleh objek tetap terjaga
  6. Pembeli sewa haruslah pemilik mutlak.
  1. H.    Pihak-pihak yang Terlibat dalam Penerbitan Obligasi dan Sukuk

 

  1. a.      Pihak-pihak yang Terlibat dalam Penerbitan Obligasi Konvensional

Dalam mekanisme penerbitan obligasi terdapat beberapa pihak yang terlibat sebagai aktor utama terwujudnya pelaksanaan kegiatan transaksi jual beli. Untuk itu perlu melihat beberapa pihak yang terlibat dan bagaimana perannya.[21]

  1. Emiten: emiten (issuer) adalah pihak yang menerbitkan atau mengeluarkan obligasi/sukuk dengan tujuan untuk mendapatkan dana. Yang dapat menjadi emiten adalah perusahaan BUMD, BUMN, Pemerintah Daerah. Secara sederhana emiten dapat disebut juga sebagai pihak yang membutuhkan dana..
  2. Penjamin Emisi (Underwriter) adalah perusahaan yang melakukan penjualan obligasi/sukuk. Pada dasarnya penjamin merupakan mediator antara emiten dengan pemodal. Apabila obligasi tidak terjual maka penjamin emisi bertanggug jawab untuk membeli semua sisa obligasi sesuai dengan perjanjian-perjanjian emisi yang sudah disepakati
  3. Wali amanat (trustee) adalah pihak yang dirujuk oleh emiten, tetapi tidak mewakili kepentingan pemegang obligasi. Wali amanat adalah satu pihak yang mewakili kepentingan pemegang efek yang bersifat untung, baik dalam pengadilan maupun diluar pengadilan yang dapat bertindak sebagai wali amanat adalah baik lembaga keuangan, bukan keuangan atau lembaga lain yang mendapat persetujuan dari BAPEPAM (Badan Pengawas Pasar Modal).
  4. Penanggung, jasa penanggung (Guarantor) diperlukan apabila suatu pihak menerbitkan obligasi. Tujuannya adalah untuk menjamin pelunasan seluruh pinjaman pokok beserta bunga, apabila ternyata dikemudian hari emiten tidak mampu membayar atau wanprestasi biasanya jasa pertanggungan ini dilaksanakan oleh bank atau lembaga keuangan bukan bank yang mempunyai reputasi sangat baik.
  5. Lembaga kliring, lembaga ini berfungsi menyelesaikan semua hak-hak dan kewajiban yang timbul dari transaksi di bursa efek. Lembaga kliring dapat juga bertindak sebagai agen pembayaran atas transaksi jual beli obligasi. Umumnya yang ditunjuk sebagai lembaga kliring adalah bank. Bank bertugas membayar bunga dan pinjaman pokok atas obligasi namun keterlibatannya hanya setelah obligasi masuk di bursa efek atau di pasar sekunder.
  6. Akuntan Publik, merupakan profesi penunjang pasar modal yang berfunsi memeriksa kondisi keuangan emiten serta memberikan pendapatannya tentang kelayakan emiten dalam penerbitan obligasi.
  7. b.      Pihak-pihak yang Terlibat dalam Penerbitan Sukuk
    1. Obligor, adalah pihak yang bertanggungjawab atas pem- bayaran imbalan dan nilai nominal sukuk yang diterbitkan sampai dengan sukuk jatuh tempo.
    2. Special Purpose Vehicle (SPV) adalah badan hukum yang didirikan khusus untuk penerbitan sukuk dengan  fungsi: (i)sebagai penerbit sukuk, (ii)menjadi counterpart Pemerintah dalam transaksi pengalihan aset, (iii)bertindak sebagai wali amanat (trustee) untuk mewakili kepentingan investor.
    3. Wali Amanat (trustee),untuk mewakili kepentingan investor.
    4. Investor, adalah pemegang sukuk yang memiliki hak atas imbalan, marjin, dan nilai nominal sukuk sesuai partisipasi masing-masing.[22]
  8. I.       Proses Penerbitan Sukuk

Penerbitan obligasi syariah pada prinsinpnya tidak jauh berbeda dengan obligasi konvensioal. Adapun langkah-langkanya sebagai berikut:[23]

  1. Emiten (obligor) menyerahkan dokumen yang diperlukan untuk penerbitan obligasi syari’ah kepada underwriter (wakil dari emitten)
  2. Underwriter akan melakukan penawaran kepada investor
  3. Bila investor tertarik, maka akan menyerahkan dananya kepada emitten melalui underwriter
  4. Emitten akan membayarkan bagi hasil dan pembayaran pokok kepada investor.
  1. J.      Permasalahan dan Kritik Seputar Sukuk

Meskipun sukuk telah dihalalkan oleh MUI dan juga di kancah internasional, namun pada tataran praktek ada beberapa permasalahan yang timbul yang bila tidak dicermati secara jeli akan mempengaruhi kehalalan sukuk, diantaranya:

ü  Tingkat return yang dipastikan pada sukuk

Tingkat return pada sebagian besar sukuk secara pasti disetujui di awal bahkan tanpa provisi tertentu untuk jaminan pihak ketiga. Beberapa sukuk yang diterbitkan menjadi sasaran kritikan tajam disebabkan karena keterlibatannya dari bay’ al-inah, bay’ al-dayn dan sifat-sifat landasan non-syariah yang membuat sukuk sama dengan obligasi berdasarkan buka. Bay’ al-inah merupakan penjualan dua kali di mana pinjam dan orang yang meminjam menjual dan kemudian menjual kembali suatu objek di antara mereka sekali untuk tujuan memperoleh uang tunai dan sekali lagi untuk tujuan harga yang lebih tinggi berdasarkan kredit, dengan hasil bersih dari suatu pinjaman dengan bunga.

Menurut aturan syariah, pemegang sukuk secara bersama memiliki resiko terhadap harga aset dan biaya-biaya yang terkait dengan kepemilikan dan bagian dari uang sewanya dengan melakukan sewa pada pengguna tertentu.

ü  Bay’ al Dayn

Perdagangan pasar sekunder untuk sekuritas Islam dimungkinkan melalui bay’ al-dayn sebagaimana berbagai kasus di Malaysia yang didasarkan pada sukuk. Akan tetapi, kebanyakan ulama tidak menerima keadaan ini karena utang yang diwakili oleh sukuk didukung oleh aset-aset utama. Walaupun begitu, ahli-ahli hukum muslim klasik dengan suara bulat menyatakan bahwa bay’al-dayn dengan diskon tidak diperbolehkan dalam syariah.

Berikut adalah kutipan kritik Adiwarman Karim terhadap sukuk:

Keuangan syariah yang selama ini dipercaya kokoh dan mempunyai daya tahan tinggi terhadap krisis ekonomi, mulai dipertanyakan keabsahannya.  Paling tidak karena tiga indikasi yang sekarang ini mulai tampak di luar negeri.  Pertama, munculnya penerbit sukuk yang gagal bayar.  Kedua, menurunnya nilai aset perusahaan keuangan syariah karena turunnya nilai pasar surat berharga yang dimilikinya.  Ketiga, mulai meningkatnya pembiayaan bermasalah.

Dilihat dari sisi risiko, investor pada asset-based sukuk sebenarnya mempunyai tingkat risiko yang sama dengan memberikan utang tanpa jaminan (unsecured).  Sedangkan investor pada asset-backed sukuk mempunyai hak tagih atas aset riil yang telah dipisahkan kepemilikannya, walaupun di beberapa Negara hak tagih atas aset riil ini bukan berarti hak atas aset riil itu sendiri.

Secara lebih spesifik, struktur sukuk dengan akad ijarah mausufah  bi dzimmah yaitu akad sewa dimana barang yang akan disewakan belum wujud tentu mengandung risiko yang lebih besar daripada sukuk dengan akad ijarah yaitu akad sewa yang barangnya telah wujud.

Secara syariah kedua jenis sukuk ijarah ini sama-sama memenuhi prinsip syariah, namun secara risiko berbeda.  Dalam sukuk ijarah yang barangnya masih akan diwujudkan tentu ada tambahan risiko yaitu gagal-serah atau gagal-pakai barang yang menjadi objek sukuk. Bila dalam kontraknya risiko ini tidak diantisipasi dan dilindungi maka risiko investor sebenarnya sama dengan utang tanpa jaminan (unsecured).  Sedangkan dalam sukuk yang barangnya telah wujud, risiko ini tidak ada.

Disinilah peran penting regulator dan lembaga fatwa dalam menerbitkan aturan main.  Tidak saja diperlukan pemenuhan aspek syariah secara formal-prosedural, namun jauh lebih penting lagi diperlukan kearif-bijaksanaan dalam menyusun regulasi dan fatwa bagi industri keuangan syariah.

Produk keuangan syariah yang sophisticated hanya layak dijual kepada investor yang sophisticated pula.  Hanya produk keuangan syariah yang sederhana boleh dijual kepada investor yang sederhana pula.  Sehingga diperlukan aturan yang mendefinisikan siapa investor yang sophisticated dan siapa investor yang sederhana, juga apa yang dimaksud produk yang sophisticated dan produk yang sederhana.  Logikanya, definisi ini akan berbeda dari satu Negara ke Negara lain karena perbedaan tingkat pemahaman dan perkembangan industrinya.  Itu sebabnya pula ide untuk saling-mengakui (mutual recognition) regulasi dan fatwa tanpa penyesuaian kondisi masing-masing Negara, tidak memenuhi kriteria kearif-bijaksanaan.

Dalam ilmu fiqih, misalnya, ketika terjadi jual-beli kacang tanah yang belum dipanen juga membedakan antara transaksi diantara orang yang mempunyai keahlian dengan transaksi diantara orang awam.  Secara umum, bila transaksinya antara orang awam, fiqih melarang jual-beli kacang tanah ini karena kuantitas dan kualitasnya tidak diketahui.  Sehingga dikawatirkan jual-beli semacam ini akan menimbulkan gharar (ketidak-pastian), oleh karenanya transaksi ini dilarang.  Mereka inilah yang disebut pedagang sederhana.

Namun bila transaksinya dilakukan diantara orang yang mempunyai keahlian dalam menaksir kualitas dan kuantitas kacang tanah, maka transaksi ini dibolehkan.  Biasanya si pembeli diberi kesempatan untuk mengambil contoh kacang tanah dibeberapa tempat di lahan yang akan dipanen, kemudian mereka mulai melakukan tawar menawar.  Kacang tetap segar didalam tanah, transaksi dapat dilakukan.  Mereka inilah yang disebut sophisticated traders.

Fiqih yang dikembangkan ratusan tahun oleh sekian banyak ulama yang berusaha memberikan kearif-bijaksanaan lokal dalam menafsirkan ketentuan syariah, merupakan warisan yang tidak ternilai bagi kita yang hidup di jaman ini.  Selalu terasa ruh dalam fatwa-fatwa mereka. Ruh kearif-bijaksanaan, ruh maqasid syariah, ruh kebenaran hakiki.

Tanpa ruh ini, keuangan syariah akan terasa hambar bagaikan masakan tanpa garam.  Formal-prosedural memang memenuhi prinsip syariah, namun kesyariahannya tidak dirasakan oleh masyarakat.

Indonesia merupakan harapan besar dunia untuk menampilkan keuangan syariah yang benar-benar terasa ruhnya.  Selama ini, Indonesia lebih memilih mazhab berhati-hati daripada mazhab pertumbuhan.  Mengecilkan peran ulama, apalagi mengerdilkan peran ulama dalam membangun industri keuangan dan perbankan syariah hanya akan menghasilkan industri keuangan dan perbankan syariah tanpa ruh.”[24]


[2] Bambang Riyanto, Dasar-dasar Pembelajaran Perusahaan, Edisi Kedua, Yayasan badan Penerbit Gadjah Mada, 1977. hlm 128

[3] M. Manulang, Pengantar Ekonomi Perusahaan, Monora dan BKLM, Medan, 1973.

[6] Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang. Unit penyertaan tanda investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek dan setiap derivative dari efek (Z. Dunil, 2004:43).

[7] Sejumlah penulis Barat yang memiliki concern terhadap sejarah Islam dan Arab menyatakan bahwa sakk inilah yang menjadi akar kata “cheque” dalam bahasa Latin, yang saat ini telah menjadi sesuatu yang lazim dipergunakan dalam transaksi perbankan kontemporer (Beik: 2007).

[8] Badan usaha (pemerintah) yang mengeluarkan kertas berharga yang diperjualbelikan (Sigit Winarno dan Sujana Ismaya, 2003:181).

[9] Ahmad Supriyadi, Pasar Modal Syari’ah Di Indomesia,STAIN, Kudus, 2009. Hlm135

[10] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Kencana Predana Media Grup, Jakarta: 2010. Hlm 141

[12] Hussein Syahattah, “Tasaaulaat Haula as-Shukuk wal Ijaabah ‘alaiha”,2013

[14] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, EKONISIA, Yogyakarta, 2004, hlm 224

[15] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Kencana, Jakarta: 2010, Hlm 143-144

[16]Hay’ah al-Muraja’ah wal Muhasabah lil-Muasasaat al-Maaliyah al-Islamiyyah, “Al-Mi’yaar asy-Syar’iyyah”, hlm.316. Lihat juga: Asy-Syarif, Muhammad Abdul Ghaffar. “Adh-Dhawabith asy-Syar’iiyah lit-Tawriq wat-Tadawaul lil-Ashum wal-Hishash was-Sukuk”, Makalah yang disajikan pada Nadwah al-Barakah lil-Iqtishad al-Islamiy. 2002. Bahrain. Hlm  7

[17]Lihat: Bada’i Shana’i 5/215,Al-Mughni Ibnu Qudamah 4/14, Al-Mausu;ah al-Fiqhiyyah 26/350,354,355.

[18].Lihat : Haasiyah Ibnu ‘Abidin 4/166. Al-Mubdi’ 4/199

[19].Lihat: Al-Majmu’:9/265

[20].Lihat: Asy-Syarh ash-Shagir, Imam Dardiri 4/42, Al-Mughni 5/148,6/118

[22]Direktorat Kebijakan Pembiayaan Syariah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, Departemen Keuangan, Mengenal Sukuk Instrumen Investasi dan Pembiayaan Berbasis Syari’ah, Jakarta

Fiqih Pertanian: Muzara’ah (bagian 2)

agri_land_imageA.    Pengertian Muzâra’ah  dan Mukhabarah.

Al-muzâra’ah  secara bahasa berasal dari Bahasa Arab dari kata dasar az-zar’u. Kata az-zar’u sendiri memiliki dua makna, makna yang pertama ialah tharh az-zur’ah yang artinya melemparkan benih (dalam istilah lain dari az-zur’ah ialah al-budzr), yakni melemparkan benih ke tanah. Dan makna yang kedua dari az-zar’u ialah al-inbaat yang memiliki arti “menumbuhkan tanaman”. Makna yang pertama adalah makna yang sebenarnya (ma’na haqiqiy), dan makna yang kedua adalah makna konotasi (ma’na majaziy).Oleh karenanya Rasulullah SAW dalam sebuah hadis bersabda:

لا يقول أحدكم زرعت وليقل حرثت

“Janganlah seseorang diantara kalian mengatakan zara’tu, melainkan katakanlah harats-tu”.

Kedua kata ini memiliki arti keseharian yang mirip, namum kata haratsa lebih cenderung mendekati makna bercocok tanam. Maksud dari hadits ini adalah jangan menggunakan kata zara’a jika yang dimaksudkan adalah makna denotasi yang artinya menumbuhkan, karena hanya Allah-lah yang dapat menumbuhkan.[1] Oleh karena itu Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Waqi’ah ayat 63-64:

أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ (٦٣)أَأَنْتُمْ تَزْرَعُونَهُ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُونَ (٦٤(

Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam, kamukah yang menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkannya?”

            Adapun secara terminologi para ulama mazhab berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Prof. Dr. Wahbah Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu menuliskan bahwa ulama Mâlikiyyah mendefinisikannya dengan kerjasama dalam bercocok tanam. Ulama Hanâbilah mendefinisikannya dengan pemindahan pengelolaan tanah kepada orang yang akan menanaminya atau mengerjakannya, adapun hasilnya akan dibagi kedua pihak. Muzâra’ah disebut juga mukhâbarah atau muhâqalah. Orang-orang Iraq menyebutnya dengan qarâh. Ulama Syafiiyyah membedakan makna istilah muzâra’ah dan mukhâbarah. Mukhâbarah didefinisikan dengan pengerjaan lahan dari pemilik lahan kepada si penggarap dengan pembagian hasil panennya, sedangkan benih berasal dari si penggarap. Adapun Muzâra’ah adalah mukhâbarah itu sendiri akan tetapi benihnya berasal dari pemilik tanah.[2]

Sedangkan Syekh Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqh ‘alal Madzahib al-Arba’ah memaparkan perbedaan pengertian muzâra’ah  di kalangan para ulama mazhab adalah sebagai berikut: “Menurut Hanafiah muzâra’ah  ialah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi. Menurut Hanabilah muzâra’ah  adalah pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit. Menurut al-Syafi’i berpendapat bahwa muzâra’ah  adalah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut. Dan menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa muzâra’ah  adalah pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah.”

Adapun, ,menurut Sulaiman Rasyid penulis kitab Fiqih Islam, muzâra’ah  ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah. Sementara mukhabarah adalah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga, atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakannya.

Jadi, dari beberapa definisi di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa muzâra’ah  menurut bahasa berarti muamalah atas tanah dengan sebagian yang keluar sebagian darinya. Dan secara istilah muzâra’ah adalah  akad kerjasama dalam pengolahan tanah pertanian atau perkebunan antara pemilik tanah dan penggarap dengan pembagian hasil sesuai kesepakatan kedua pihak.

B.     Landasan Hukum dan Pendapat Ulama dalam Muzâra’ah

Muzâra’ah  atau yang dikenal di masyarakat sebagai bagi hasil dalam pengolahan pertanian, adalah perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW dan dilakukan para sahabat beliau sesudah itu.

Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan melalui Imam Bukhari, Muhammad al Baqir bin Ali bin Al-Husain ra. Berkata: “Tidak ada seorang muhajirin pun yang ada di Madinah kecuali mereka menjadi petani dengan mendapatkan sepertiga atau seperempat. Dan Ali, Said bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul ‘Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan Ibnu Sirrin, semua terjun ke dunia pertanian.”.  Di dalam kitab Al-Mughni  dikatakan : “Hal ini masyhur, Rasulullah SAW mengerjakan sampai beliau kembali kerahmatullah, kemudian dilakukan pula oleh para khalifahnya sampai mereka meninggal dunia, kemudian keluarga mereka sesudah mereka.”

Sampai-sampai ketika itu di Madinah tak ada seorang pun penghuni rumah yang tidak melakukan ini, termasuk istri-istri Nabi SAW yang terjun setelah beliau melakukan muzâra’ah  ini. [3]

Sehingga sebagian besar ulama memperbolehkan muzâra’ah  ini. Namun banyak juga ulama ada yang mengharamkannya, ada yang membagi antara muzâra’ah  yang haram dan yang halal dengan syarat-syarat tertentu. Berikut ini penulis akan memaparkan perbedaan pendapat ulama beserta dalil-dalilnya. Secara umum adalah sebagai berikut:

1.      Pendapat Yang Memperbolehkan Muzâra’ah

Pendapat Jumhur ulama diantaranya Imam Malik, para ulama Syafiiyyah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan (dua murid Imam Abu Hanifah), Imam Hanbali dan Dawud Ad-Dzâhiry. Mereka menyatakan bahwa akad muzâra’ah diperbolehkan dalam Islam[4]. Pendapat mereka didasarkan pada al-Quran, sunnah, Ijma’ dan dalil ‘aqli.

Dalil al-Quran

Surah al-Muzammil: 20

وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ ۙ

Artinya : “…dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah…”

Surat al-Zukhruf : 32

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Artinya : “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”

Kedua ayat diatas menerangkan kepada kita bahwa Allah memberikan keluasan dan kebebasan kepada umat-Nya untuk bisa mencari rahmat-Nya dan karunia-Nya untuk bisa tetap bertahan hidup di muka bumi.

Hadits

Rasulullah SAW bersabda:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (من كانت له أرض فليزرعها أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه )

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw (barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.” (Hadits Riwayat Muslim)

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعُهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا فَلْيَزْرَعْهَا أَخَاهُ

Artinya:“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.” (Hadits Riwayat Bukhari)

عَنِ ابِن عُمَرُرَضِىَ اللهُ عَنهُ (أَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُه عَلَيهِ وَ سَلَّمَ عَامَلَ أَهلَ خَيبَرَ بشَطرٍ ماَيَخرُجُ مِنهَا مِن ثَمَرٍ أَو زَرعٍ)  أَخرَجَهُ البُخَارِي

Artinya :” Diriwayatkan oleh Ibnu Umar R.A. sesungguhnya Rasulullah Saw. Melakukan bisnis atau perdagangan dengan penduduk Khaibar untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil berupa buah-buahan atau tanaman” (HR. Bukhari).

 

Ijma’

Banyak sekali riwayat yang menerangkan bahwa para sahabat telah melakukan praktek muzâra’ah dan tidak ada dari mereka yang mengingkari kebolehannya. Tidak adanya pengingkaran terhadap diperbolehkannya muzâra’ah dan praktek yang mereka lakukan dianggap sebagai ijma’.[5]

Dalil ‘Aqli

Muzâra’ah merupakan suatu bentuk akad kerjasama yang mensinergikan antara harta dan pekerjaan, maka hal ini diperbolehkan sebagaimana diperbolehkannya mudarabah untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sering kali kita temukan seseorang memiliki harta (lahan) tapi tidak memiliki keterampilan khusus dalam bercocok tanam ataupun sebaliknya. Di sini Islam memberikan solusi terbaik untuk kedua pihak agar bisa bersinergi dan bekerjasama sehingga keuntungannya pun bisa dirasakan oleh kedua pihak. Simbiosis mutualisme antara pemilik tanah dan penggarap ini akan menjadikan produktivitas di bidang pertanian dan perkebunan semakin meningkat.

  1. 2.      Pendapat Yang Melarang Muzâra’ah

Abu Hanifah, Zafar dan Imam Syafii berpendapat bahwa muzâra’ah tidak diperbolehkan. Abu Hanifah dan Zafar mengatakan bahwa muzâra’ah itu fâsidah (rusak) atau dengan kata lain muzâra’ah dengan pembagian 1/3, 1/4 atau semisalnya tidaklah dibenarkan.

Imam Syafi’i sendiri juga melarang prakterk muzâra’ah, tetapi ia diperbolehkan ketika didahului oleh musâqâh apabila memang dibutuhkan dengan syarat penggarap adalah orang yang sama. Pendapat yang Ashah menurut ulama Syafiiyyah juga mensyaratkan adanya kesinambungan kedua pihak dalam kedua akad (musâqâh dan Muzâra’ah) yang mereka langsungkan tanpa adanya jeda waktu. Akad muzâra’ah sendiri tidak diperbolehkan mendahului akad musâqâh karena akad muzâra’ah adalah tabi’, sebagaimana kaidah mengatakan bahwa tabi’ tidak boleh mandahului mathbu’nya. Adapun melangsungkan akad mukhâbarah setelah musâqâh tidak diperbolehkan menurut ulama Syafiiyyah karena tidak adanya dalil yang memperbolehkannya.

Para ulama yang melarang akad muzâra’ah menggunakan dalil dari hadis dan dalil aqli.

Hadist

 عَنْ ثَابِت ابْنَ ضَحَّاكَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ المُزَاَرعَةِ

( أخرجه مسلم)

Dari Tsabit ibnu Dhahhak bahwasanya Rasulullah Saw. melarang muza’rah “ (H.R. Muslim)

 

أَنَّ رَافِع ابنُ خَدِيج قَالَ: كُنّاَ نُخَابِرُ عَلَى عَهدِ رَسُولُ اللهِ, فَذَكَرَ أَنَّبَعضَ عُمُومَتُهُ أَتاَهُ وَ قاَلَ: نَهَى رَسُولُ الله عَن أَمرٍ كاَنَ لَناَ ناَفِعاً, وَ طَوَاعِيَةُ اللهِ وَ رَسُولِهِ أَنفَعُ لَناَ وَ أَنفَع قاَلَ: قُلناَ: وَ ماَ ذَالِكَ؟ قاَلَ: قاَلَ رَسُولُ لُلهِ ” مَن كاَنَت لَه أَرضٌ فَليَزرَعهاَ أَو فَليُزرِعهاَ أَخاَهُ, وَلاَ يُكاَرِيهاَ بِثُلُثٍ وَلَا بِرُبُعٍ وَلَا بِطَعاَمٍ مُسَمَّى” أَخرَجَهُ مُسلِم وَ أَبُو دَاوُد

 “Diriwayatkan oleh Râfi’ bin Khudaij R.A., ia berkata : Suatu ketika ketika kami sedang mengadakan pengolahan lahan dengan bagi hasil tertentu (mukhâbarah), kemudian datanglah kepadanya sebagian dari keluarga pamannya dan mengatakan : Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang akan sesuatu perkara yang sebenarnya bermanfaat bagi kami, dan sungguh ketaatan atas Allah Swt. Dan Rasul-Nya adalah lebih bermanfaat bagi kami. Lalu kami mengatakan: dan apakah perkara itu? Ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda : Barang siapa yang memiliki lahan hendaklah ia menanaminya atau memberikannya kepada saudaranya untuk ditanami. Dan janganlah ia menyewakan sepertiganya, atau seperempatnya, dna tidak juga dengan makanan.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud)

 

عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِحَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ

Dari jalan Rafi’ bin Khadij, ia berkata: “Kami kebanyakan pemilik tanah di Madinah melakukan muzâra’ah , kami menyewakan tanah, satu bagian daripadanya ditentukan untuk pemilik tanah maka kadang-kadang si pemilik tanah itu ditimpa suatu musibah sedang tanah yang lain selamat, dan kadang-kadang tanah yang lain itu ditimpa suatu musibah, sedang dia selamat, oleh karenanya kami dilarang. (H.R. Bukhari).

عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ قَيْسٍ عن رَافِعِ بْنِ خَدِيْجٍ قَالَ: حَدَثَنِّيْ عَمَّايَ أَنَّهُمْ كَانُوْا يَكْرُوْنَ الأَرْضَ عَلَى عَهْدِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِمَا يَنْبُتُ عَلَى الأَرْبِعَاءِ أَوْ شَيْءٍ يَسْتَثْنِيْهِ صَاحِبُ الأَرْضِ, فَنَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ. فَقُلْتُ لِرَافِعٍ: فَكَيْفَ هِيَ بِالدِّيْنَرِ وَ الدِّرْهَمِ؟ فَقَالَ رَافِعٌ: لَيْسَ بِهَا بَأْسَ بِالدِّيْنَرِ وَ الدِّرْهَمِ.

Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, dia berkata, pamanku telah menceritakan kepadaku bahwasanya mereka menyewakan tanah pada zaman Nabi  dengan apa yang tumbuh dari saluran-saluran air atau sesuatu yang telah dikecualikan pemilik tanah, kemudian Nabi shollallohu ,’alaihi wa sallam melarang hal itu. Aku bertanya kepada Rafi’, bagaimana bila dengan dinar dan dirham?, maka Rafi’ menjawab, tidak mengapa menyewa tanah dengan dinar dan dirham.(HR Bukhari).

عن كثير بن فرقد عن نافع أن عبد الله بن عمر كان يكري المزارع فحدث أن رافع بن خديج يأثر عن رسول الله صلى الله عليه و سلم : أنه نهى عن ذلك قال نافع فخرج إليه على البلاط وأنا معه فسأله فقال نعم نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن كراء المزارع فترك عبد الله كراءها

 “Dari Katsir Ibnu Farqad dari Nafi’ berkisah, bahwasanya Abdullah Ibnu Umar dulu biasa menyewakan tanah, kemudian ia mendengar Rafi’ ibnu Khadij meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw telah melarang hal itu. Maka ia datang kepada Rafi’ bersamaku dan bertanya mengenai hal tersebut. Jawab Rafi’: “Benar, Rasulullah saw telah melarang seseorang menyewakan sawah”. Sejak itu Abdullah tidak lagi mau menyewakannya.”(Hadits Riwayat: An-Nasa’i)

Dalil Aqli

Muzâra’ah dilarang karena upah penggarapan lahannya ma’dum (tidak ada wujudnya ketika proses akad berlangsung) dan majhul karena tidak adanya kepastian hasil yang akan dituai nanti, boleh jadi lahan yang digarap tidak menghasilkan sama sekali pada akhirnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa jahâlah dan ketiadaan mahallul ‘aqdi akan merusak akad ijarah[6]

Adapun muamalah Nabi Saw. terhadap penduduk Khaibar bukan termasuk akad Muzâra’ah akan tetapi termasuk Kharaj Muqâsamah[7]

 

Sanggahan Terhadap Pelarangan Muzâra’ah

Pendapat yang melarang muzâra’ah  ini  dibantah oleh para ulama sebagai berikut:

  1. Hadis yang dijadikan dalil untuk melarang akad muzâra’ah tidak bisa digunakan untuk menjeneralisir pelarangan akad muzâra’ah. Hadis tersebut menkhususkan pada suatu kondisi ketika pemilik tanah mengapling bagian lahan tertentu untuk ditanami sendiri segingga bisa jadi akan menimbulkan kerugian di pihak penggarap pada saat panen nanti. Ada kemungkinan tanah bagian sang penggarap tidak menghasilkan sama sekali. Kalau demikian, dari mana si penggarap akan mendapatkan bagian dari hasil garapannya.
  2. Akad muzâra’ah bukanlah bagian dari akad Ijarah, akan tetapi bagian dari mudarabah. Dalam akad mudarabah, kesepakatan persentase pembagian hasil boleh ditentukan diawal dan hal ini tidaklah merusak akad tersebut. Hal yang sama bisa kita lihat juga dalam muzâra’ah. Ada karakteristik khusus yang dimiliki oleh muzâra’ah dibandingkan penyewaan tanah biasa. Dalam muzâra’ah ‘upah’ yang didapat adalah persentase sebenarnya dari hasil panen yang didapat dari tanah garapan baik itu seperempat, setengah atau sepertiganya. Sedangkan dalam penyewaan tanah biasa, upah yang didapat oleh pemilik tanah adalah jumlah tertentu  baik berupa uang atau barang (hasil bumi) yang bukan merupakan hasil dari tanah garapan, ataupun mungkin hasil dari tanah garapan akan tetapi jumlahnya sudah ditentukan terlebih dahulu tanpa dasar presentase dari awal, satu ton gandum misalnya atau 100 kg beras dan sebagainya.
  3. Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah juga menyebutkan sanggahan terhadap pelarangan muzâra’ah  yang dilandaskan pada hadist Rafi’ bin Khudaij. Hadits tersebut telah disanggah keumuman penerapan larangannya oleh Zaid bin Tsabit ra bahwa pelarangan itu untuk menyelesaikan/melerai perselisihan, ia berkata: “Semoga Allah mengampuni Rafi’ bin Khudaij. Demi Allah, aku ini lebih tahu tentang hadits daripadanya.” Pelarangan itu sebenarnya turun karena dua orang mendatangi Nabi SAW, mereka dari golongan Anshar yang nyaris saling membunuh karena perselisihan bagi hasil tanam, Rasulullah SAW mengatakan kepada mereka:

ان كــــــان هذا شأنكم فلا تكروا المزارع

   “Jika ini keadaan kalian, maka janganlah kalian ulangi lagi (bekerja sama) dalam bertani.”

Rafi’ hanya mendengar:

فلا تكروا المزارع

             “Maka janganlah kalian ulangi lagi bertani bagi hasil.”

(Riwayat Abu Daud dan An-Nasa’i)

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Urwah ibnu Zubair sebagai berikut:

عن عروة بن الزبير قال قال زيد بن ثابت : يغفر الله لرافع بن خديج أنا والله أعلم بالحديث منه إنما كانا رجلين اقتتلا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن كان هذا شأنكم فلا تكروا المزارع فسمع قوله لا تكروا المزارع

Dari Urwah ibnu Zubair berkata, berkata Zaid bin Tsabit: “Semoga Allah mengampuni Rafi’ ibnu Khadij. Demi Allah, Aku lebih mengetahui hadits daripada ia. Rasulullah saw melarang menyewakan tanah, dikarenakan pada suatu hari ada dua orang yang bunuh membunuh sebab masalah penyewaan tanah, maka dari itu beliau bersabda: “Jika kamu bertengkar seperti ini, janganlah kamu menyewakan tanah” Rupanya ia hanya mendengar sabda beliau: “Janganlah kamu menyewakan tanah”.” (H.R. An Nasa’i)

Jadi munculnya hadis tentang muzâra’ah  dari Rafi’ bin Khudaij yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah melarang dilakukannya muzâra’ah  setelah sebelumnya ia memperbolehkannya, itu memang benar. Namun hal itu tidak bisa dijadikan hujah larangan menyewakan tanah (muzâra’ah ) karena hadits tersebut yang diriwayatkan Rafi’ ibnu Khadij tidak semata-mata dilihat dari apa yang disampaikan rasulullah saw saja, namun kita lihat dari latar belakng sehingga dikeluarkan hadits tersebut, dengan kata lain harus dilihat secara kontektual atau dilihat dari asbabul wurudnya dulu.

Dengan adanya bantahan dari Zaid ibnu Tsabit ini, maka telah jelas bahwa tidak terjadi nasakh dalam hukum diperbolehkannya muzâra’ah .

  1. Ibnu Abbas pun menyanggah Rafi’ bin Khudaij, beliau menjelaskan: “Sesunggunhnya pelarangan adalah dalam rangka membawa mereka kea rah yang lebih baik untuk mereka, beliau berkata:

“Sesunggunnya Rasulullah SAW bukan mengharamkan bertani bagi hasil, tetapi beliau memerintahkan agar sesame manusia saling tolong-menolong” dengan sabda beliau SAW : “Siapa yang memiliki tanah hendaknya ia menanaminya atau ia berikan (penggarapannya) kepada saudaranya. Jika ia enggan, maka ia sendiri harus menggarap tanahnya.”

Dan dari Amir bin Dinar ra.: “Aku pernah mendengar Ibnu Umar berkata: Dahulu kami tidak memandang muzâra’ah  itu terlarang, sampai aku mendengar Rafi’ bin Khudaij berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW mencegahnya.” Kemudian aku ceritakan kepada Thawwus, lalu ia berkata,”Orang yang paling pandai diantara mereka mengatakan kepadaku – yang dimaksud adalah Ibnu Abbas – “Bahwa Rasulullah SAW tidak pernah mencegahnya, tetapi beliau berseru: “ Hendaknya seseorang kamu memberikan tanahnya (untuk digarap), itu lebih baik daripada ia memungut bayaran tertentu.” (Diriwayatkan oleh kelima Imam hadist).

Adapun bentuk muzâra’ah  yang diharamkan adalah bila bentuk kesepakatannya tidak adil. Misalnya, dari luas 1.000 m persegi yang disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia berhak atas tanaman yang tumbuh di area 400 m tertentu. Sedangkan tenaga buruh tani berhak atas hasil yang akan didapat pada 600 m tertentu.

Perbedaannya dengan bentuk muzâra’ah  yang halal di atas adalah pada cara pembagian hasil, yaitu:

Dimana bentuk yang boleh adalah semua hasil panen dikumpulkan terlebih dahulu, baru dibagi hasil sesuai prosentase.

Dimana bentuk yang terlarang itu adalah sejak awal lahan sudah dibagi dua bagian menjadi 400 m dan 600 m. Buruh tani berkewajiban untuk menanami kedua lahan, tetapi haknya terbatas pada hasil di 600 m itu saja. Sedangkan apapun yang akan dihasilkan di lahan satunya lagi yang 400 m, menjadi hak pemilik lahan. Cara seperti ini adalah cara muzâra’ah  yang diharamkan. Dari Hanzhalah ra., ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij perihal menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak mengapa. Sesungguhnya pada periode Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (galangan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, oleh sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 302, Muslim III: 1183 no: 116 dan 1547, ‘Aunul Ma’bud IX: 250 no: 3376 dan Nasa’i VII : 43).

Inti larangannya ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan yang 400 m itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan. Sebaliknya, bila panen di lahan yang 600 m itu gagal, maka buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian prosentase.

Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau sama sekali tidak menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara ini lebih menyenangkan jiwa kedua belah pihak.

Imam Ibnul Qayyim berkata: ”Muzâra’ah  ini lebih jauh dari kezaliman dan kerugian dari pada ijarah. Karena dalam ijarah, salah satu pihak sudah pasti mendapatkan keuntungan. Sedangkan dalam muzâra’ah , apabila tanaman tersebut membuahkan hasil, maka keduanya mendapatkan untung, apabila tidak menghasilkan buah maka mereka menanggung kerugian bersama.”

Syekh Abdurrahman Al-Jazairy menutup perbedaan panjang para ulama mazhab mengenai muzâra’ah  ini dengan sebuah kesimpulan yang indah: “Jika demikian, maka kita bisa menerapkan dua pendapat yang berbeda itu sesuai porsinya di zaman ini..”, ringkasnya adalah sebagai berikut:

  1. Diantara manusia ada pemilik lahan yang memanfaatkan kesempatan dengan adanya kebutuhan yang sangat dari para pekerja untuk memperoleh pekerjaan, manusia jenis ini tidak akan memberikan kesempatan hingga pekerja tersebut benar-benar terpaksa melakukan apa yang diinginkan si pemilik lahan tersebut, sehingga si pemilik lahan mendapatkan keuntungan yang maksimal dari hasil lahannya, dan berlaku tidak adil dalam pembagian hasilnya. Pada keadaan yang demikian, maka muzâra’ah  diharamkan. Dalam hal ini kita mengambil pendapat Malikiyah yang mensyaratkan persamaan dalam keuntungan berdasarkan nisbah (prosentase) pengorbanan kedua belah pihak, baik itu pengorbanan berupa pekerjaan, lahan, atau yang lainnya, sehingga masing-masing dari kedua belah pihak tidak berlaku tamak.
  2. Jika muamalah yang terjadi di kalangan manusia adalah hubungan yang baik, di mana masing-masing pihak tidak ingin merebut bagian yang merupakan hak partnernya, tidak berkhianat dalam bekerja, dan kemaslahatan juga tercipta dengan penerapan muzâra’ah  dengan membagi hasil dari apa yang dihasilkan oleh pengolahan tanam tersebut (ghullah), maka pada kondisi demikian kita mengambil pendapat yang membolehkan muzâra’ah  tanpa perlu diikat dengan syarat-syarat yang dipersyaratkan oleh pihak yang mengharamkannya.[8]. Inilah pendapat yang paling tepat menurut penulis.
  3. C.    Rukun Muzâra’ah .

Menurut Jumhur ulama, rukun muzâra’ah ada tiga, yaitu :

  1. Akidain ( pemilik tanah dan penggarap)
  2. Mahallul aqdi atau ma’qud ‘alaih yaitu objek. Ada perbedaaan pendapat dalam masalah objek ini, ada yang berpendapat bahwa objek muzâra’ah adalah manfaat tanah (lahan) ada pula yang berpendapat bahwa objek yang dimaksud adalah pekerjaan si penggarap lahan. Para ulama Hanafiyyah yang mengkiaskan muzâra’ah dengan ijarah pada awalnya dan syirkah pada akhirnya  berpendapat apabila benih berasal dari penggarap maka objeknya adalah manfaat tanah yang digarap, akan tetapi jika benih berasal dari pemilik tanah maka objeknya adalah pekerjaan si penggarap tanah.[9]
  3. Ijab dan kabul, yaitu kesepakatan antara pemilik tanah dan penggarap.[10]

Sedangkan menurut Hanafiyyah, rukun muzâra’ah hanyalah ijab dan kabul saja. Ini hanyalah perbedaan pendapat ulama, akan tetapi pada prakteknya semua komponen harus terpenuhi baik ‘âkidân, mahallul ‘aqdi maupun ijab dan qabul. Karena tanpa tiga unsur ini muzâra’ah tak akan bisa terlaksana.

D.    Syarat Muzâra’ah

Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan  mengklasifikasikan syarat-syarat Muzâra’ah sebagai berikut[11] :

1.    Syarat-syarat ‘âkidân (pemilik tanah dan penggarap)

  • Ø ‘âkidân harus berakal (mumayyiz). Maka tidak sah akad muzâra’ah yang dilakukan oleh orang gila atau anak kecil yang belum mumayyiz, karena akal merupakan syarat ahliyyah dalam penggunaan harta. Adapun al-bulugh  menurut tidak termsuk syarat bagi Hanafiyyah, sedangkan Syafiiyyah dan Hanâbilah mensyaratkannya.
  • Ø Tidak murtad. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, sedangkan kedua muridnya Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan tidak mensyaratkannya. Menurut Imam Abu Hanifah, tasharruf orang yang murtad dianggap mauquf, oleh karena itu tasharrufnya dianggapa tidak sah. Sedangkan kedua muridnya yang tidak mensyaratkan hal ini menganggap tasharruf orang yang murtad tetap sah.

2.    Syarat-syarat Tanaman

  • Ø Diketahui jenis dan sifat tanamannya. Penggarap hendaknya menjelaskan dengan detail jenis dan sifat tanaman yang akan ditanamnya kepada pemilik tanah. Hal ini menjadi penting karena jenis tanaman akan berpengaruh kepada kualitas tanah yang ditanaminya.
  • Ø Tanaman yang ditanam adalah tanaman yang menghasilkan atau dapat diambil manfaatnya dengan jelas, sehingga tidak sia-sia nantinya.
  • Ø Tanaman yang akan ditanam memang bisa tumbuh di lahan yang tersedia.

3.    Syarat tanah (lahan)

  • Ø Hendaknya kedua belah pihak memastikan bahwa tanah yang akan digarap benar-benar tanah yang bisa ditanami.[12] Bukan rawa-rawa ataupun tanah tandus yang memang tidak mungkin dimanfaatkan untuk bercocok tanam.
  • Ø kejelasan letak dan batas tanah yang akan digarap
  • Ø Pembebasan lahan dari pemilik tanah kepada penggarap. Ini berarti bahwa pemilik tanah mengamanahkan sepenuhnya pengurusan tanah dan tanamannya kepada penggarap agar lebih leluasa dalam bekerja.

4.    Syarat-Syarat Hasil yang Akan Dipanen dan Dibagi

Syarat-syarat berikut ini harus dipenuhi ketika tidak terjadi pembatalan akad :

  • Ø Hasil yang akan dibagi nanti harus dijelaskan sejak awal akad. Kedudukan hasil di sini setara dengan kedudukan upah dalam suatu pekerjaan, oleh karena itu jika terjadi jahâlah dalam upah maka rusaklah suatu akad.
  • Ø Hasil yang akan dipanen nanti harus dibagikan kepada kedua pihak sesuai kesepakatan. Apabila ada salah satu pihak mensyaratkan hasilnya hanya untuk salah satu dari mereka maka rusaklah akad muzâra’ah.
  • Ø Adanya penentuan persentase pembagian yang jelas dari awal akad, ½,1/3atau1/4 misalnya. Hal ini harus jelas sejak awal agar tidak terjadi perdebatan dan percekcokan antara pihak satu dengan lainnya.
  • Ø Yang dibagikan kepada kedua pihak benar-benar hasil dari kerjasama keduanya.
  • Ø Mâlikiyyah mensyaratkan pembagian hasil yang sama rata antara pemilik tanah dan penggarap. Sedangkan Syafiiyyah, Hanâbilah dan Hanafiyyah tidak mensyaratkannya. Mereka memperbolehkan perbedaan pembagian hasil antara kedua belah pihak sesuai kesepakatan.

5.             Syarat-syarat Mahallul aqdi (objek)

Objek muzâra’ah hendaknya sejalan dengan yang digariskan oleh Syara’ ataupun ‘urf. Jika kita kiaskan akad muzâra’ah ke akad sewa menyewa (ijârah) maka kita akan menemukan pembagian jenis objek sewa menjadi dua:

  • Ø Manfaat pekerjaan dari si penggarap tanah. Ini terjadi apabila benih berasal dari pemilik tanah.
  • Ø Manfaat dari lahan itu sendiri. Ini terjadi apabila benih berasal dari penggarap tanah.
  • Ø Jika kedua objek ini berkumpul dalam akad muzâra’ah maka akad tersebut fasid.

6.    Syarat Alat Pertanian

Alat pertanian bisa berupa hewan seperti sapi atau kerbau pembajak ataupaun alat-alat modern seperti traktor. Alat-alat ini tidak wajib disebutkan dalam akad karena hanya merupakan pelengkap bukan inti dari pekerjaan yang akan dilakukan.

7.    Syarat waktu atau masa berlangsungnya akad muzâra’ah

Masa berlangsungnya akad harus jelas sejak awal akad. Tidak sah akad muzâra’ah kecuali masa berlangsungnya akad ini disepakati. Karena muzâra’ah merupakan akad yang bertujuan untuk membuahkan hasil. Jika kita qiyaskan lagi dengan ijarah, maka jelas bahwa ijarah tidak sah ketika masa berlangsungnya akad tidak jelas.

E.     Syarat-syarat yang Bisa Merusak Akad Muzâra’ah

Berikut ini adalah syarat-syarat yang bisa merusak akad muzâra’ah :

  1. Pensyaratan agar semua hasil garapan diperuntukkan kepada salah satu pihak saja.
  2. Syarat yang menimbulkan ketidakpastian pembagian hasil antara dua pihak. Apabila salah satu pihak mensyaratkan persentase tertentu bagi dirinya atas hasil yang akan didapatnya atau mengkhususkan bagian tertentu untuk dirinya tanpa bagian yang lain.[13]
  3. Apabila ada pensyaratan keikutsertaan pemilik tanah dalam mengelola lahan atau bahkan pemilik tanah sendiri yang harus mengelola lahannya. Ini menurut pendapat Hanafiyyah dan Hanâbilah.
  4. Syarat kepada pemilik lahan untuk menjaga dan merawat lahannya sebelum masa akad berakhir.
  5. Syarat kepada penggarap untuk menjaga dan merawat lahan setelah masa akad berakhir dan hasil telah dibagikan.
  6. Masa akad yang majhûl dan tidak relevan. Misalnya menunggu sampai tanaman yang ditanam mati secara alami.

 

F.     Sifat Akad Muzâra’ah Berdasarkan Lazim dan Tidaknya Akad[14]

Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang lazim dan tidaknya akad Muzâra’ah.[15]

  1. Imam Hanafi bependapat bahwa Muzâra’ah merupakan akad tidak lazim bagi pemilik benih dan akad lazim bagi yang tidak memiliki benih.
  2. Para Ulama Mâlikiyyah berpendapat bahwa muzâra’ah termasuk akad lazim ketika benih telah ditaburkan bagi tanaman yang berkembang biak dengan biji  benih atau ketika batangnya sudah ditanam bagi tanaman yang berkembang biak dengan batangnya. Jadi sebelum benih ditaburkan atau batang ditanam, akad ini belum mencapai derajat lazim.
  3. Para ulama Hanâbilah mengatakan baik akad muzâra’ah maupun musâqâh keduanya merupakan akad ghairu lazim. Masing-masing pihak boleh membatalkan akad kapan saja. Akad dianggap batal ketika salah satu pihak meninggal dunia.
    G.    Macam-macam Bentuk Akad Muzâra’ah

Ada empat bentuk muzâra’ah menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, dua murid Imam Abu Hanifah, tiga diantaranya termasuk akad shahih dan satu lainnya akad bathil.

  1. Apabila tanah dan benih dari pihak pertama sedangkan pengerjaan lahan dan hewan (peralatan) dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini diperbolehkan. Di sini pemilik tanah dan benih seakan-akan bertindak sebagai penyewa kepada si penggarap. Adapun hewan (peralatan) adalah bagian yang tak terpisahkan dari pihak penggarap. Karena  hewan (peralatan) adalah wasilah untuk bekerja.
  2.  Apabila tanah dari pihak pertama sedangkan hewan (peralatan), benih dan pengerjaan lahan dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini juga diperbolehkan. Di sini penggarap tanah seakan-akan menjadi penyewa tanah dengan keuntungan pembagian hasil yang akan dipanen nanti.
  3. Apabila tanah, hewan (peralatan) dan benih dari pihak pertama sedangkan pengerjaan lahan dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini juga diperbolehkan. Di sini pemilik tanah seakan-akan bertindak sebagai penyewa pekerjaan si penggarap dengan pembagian hasil yang disepakati kedua pihak.
  4. Apabila tanah dan hewan (peralatan) dari pihak pertama sedangkan benih dan pengerjaan lahan dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini tidak diperbolehkan. Ini termasuk akad yang fasid.  Apabila kita kiaskan akad muzâra’ah dengan akad sewa tanah, maka pensyaratan adanya hewan (peralatan) kepada pemilik tanah dapat merusak akad sewa (ijârah). Karena tidak mungkin untuk menjadikan hewan (peralatan) bagian dari tanah sebab adanya perbedaan manfaat antara keduanya. Dengan kata lain bahwa manfaat hewan (peralatan) bukan termasuk jenis manfaat yang ada dalam pemanfaatan tanah itu sendiri. Tanah berfungsi sebagai lahan untuk bercocok tanam sedangkan hewan (peralatan) berfungsi untuk bekerja dan mengolah tanah.

Adapun jika akad ini diqiyaskan ke akad sewa pekerja, maka pensyaratan adanya benih juga merusak akad sewa, karena benih bukan termasuk bagian dari manfaat pekerja (penggarap).

  1. H.    Dampak Hukum Muzâra’ah Fasid dan Sahih

Akad muzâra’ah menjadi shahih ketika segala syarat telah terpenuhi,  berikut pandangan mazhab Hanafi tentang dampaknya : [16]

  1. Pihak penggarap berkewajiban untuk menjaga tanaman.
  2. Biaya operasional tanaman ditanggung oleh kedua belah pihak sesuai dengan bagian yang disepakati.
  3. Pembagian sesuai dengan kesepakatan.
  4. Akad ini tidak lazim bagi pemilik benih dan lazim bagi pihak yang lain.
  5. Menjaga dan menyiram tanaman adalah kewajiban pihak penggarap bila disiram dengan pengairan.  Sedangkan pemilik lahan mempunyai hak paksa kepada penggarap ketika lalai dalam pekerjaannya.

Jikalau syarat yang ada pada akad ini tidak terpenuhi maka ia akan menjadi fasid. Konsekuensinya sebagai berikut : [17]

  1. Pihak penggarap tidak wajib bekerja.
  2. Hasil panen adalah hak pemilik benih.
  3. Jikalau pemilik benih adalah yang punya lahan, maka pihak penggarap pantas mendapatkan upah kerja. Begitupun sebaliknya, jikalau benih millik penggarap maka ia wajib membayar sewa tanah kepada pihak lainnya.
  4. Apabila tidak ada hasil panen, maka pihak penggarap memiliki hak untuk meminta upah. Karena dia serupa dengan penyewaan tenaga.
  5. Upah yang diberikan bisa ditentukan kadarnya.

 

  1. I.       Berakhirnya Akad Muzâra’ah dan Hal-hal yang dapat Memfasakhnya

Ada tiga keadaan yang membuat akad ini berakhir atau fasakh[18]:

  1. 1.    Berakhirnya waktu akad

Ketika masa akad berakhir, maka berakhir pula akad tersebut. Ini adalah pengertian dari fasakhnya suatu akad.

Apabila masa akad telah selesai dan tanaman sudah membuahkan hasil kemudian hasil tersebut juga sudah dibagikan kepada masing-masing pihak maka berakhirlah akad. Namun, jika waktu akad telah selesai sedangkan tanaman belum membuahkan hasil, akad tersebut harus tetap dilanjutkan walaupun masanya telah berakhir sampai tanaman tersebut berbuah dan bisa dibagikan hasilnya. Hal ini dilakukan demi kemaslahatan bersama antara kedua belah pihak.

  1. 2.    Meninggalnya salah satu pihak

Ini adalah pendapat Hanafiyyah dan Hanâbilah. Akad berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak, baik meninggalnya sebelum maupun setelah penggarapan. Demikian pula ketika tanaman telah berbuah maupun belum.

Sedangkan Syafiiyah dan Mâlikiyyah berpendapat bahwa muzâra’ah tidak berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak.

Hanafiyyah membedakan antara dampak yang timbul akibat wafatnya salah satu pihak, sebagai berikut :

  • Ø Dampak yang timbul dari wafatnya si pemilik lahan:

Apabila si pemilik lahan wafat, sedangkan hasil pertanian masih belum dapat dipanen. Maka, lahan tersebut diberikan kepada si penggarap untuk dikelola lagi hingga waktu panen tiba. sedangkan hasil panen tersebut, dibagi antara si penggarap dan ahli waris si pemilik lahan, sebagaimana kesepakatan awal antara si pemilik lahan dan si penggarap.

  • Ø Dampak yang timbul dari wafatnya si penggarap:

Maka, apabila si penggarap wafat sebelum adanya hasil panen. Maka, bagi ahli warisnya hak untuk melanjutkan warisan pekerjaan dari si penggarap (muwarrits) sesuai dengan syarat yang telah disepakati antara si pemilik lahan dan penggarap sebelumnya.

  1. 3.    Adanya Uzur Yang Memfasakh Akad

Apabila akad difasakh sebelum lazimnya akad, maka batallah akad tersebut. Menurut Hanafiyyah sifat akad dalam Muzâra’ah adalah ghairu lazim bagi si pemilik benih dan lazim  bagi yang tidakkk memiliki  benih. Sedangkan menurut Malikiah, akad Muzâra’ah menjadi lazim apabila penggarap sudah memulai pekerjaaannya. Maka, selama si penggarap belum menggarap lahan, ia masih dapat memfasakh akad tersebut.Bagi Hanafiyyah juga diperbolehkan untuk memfasakh akad setelah ia menjadi akad lazim, apabila terdapat uzur. Baik, dari pemilik lahan atau si penggarap. Misalnya: Adanya hutang bagi si pemilik lahan, yang mengharuskannya untuk menjual lahan pertanian, yang sudah disepakati untuk akad Muzâra’ah. Dimana si pemilik lahan tidak memiliki harta lain selain lahan tersebut. Maka, dibolehkan baginya untuk menjualnya karena adanya hutang tersebut, dan berakhirlah (fasakh) akad Muzâra’ah. Karena ia tidak mungkin untuk meneruskan akad tersebut, kecuali dengan menanggung bahaya dari hutang yang dimilikinya.

  1. J.      Relevansi Akad Muzâra’ah Dalam Perekonomian Modern

Perkembangan ekonomi syariah pada saat ini begitu pesat, wacana yang ada dalam perekonomian dunia telah membuktikan bahwasanya ekonomi islam sangat cocok dan relevan untuk diterapkan. Begitu banyak bank konvesional yang beralih ke dalam sistem ekonomi Islam, dikarenakan oleh keselarasan ekonomi Islam dengan praktek ekonomi yang ada.

Praktek muamalah yang berbasis Islam telah banyak digalakkan oleh pihak bank contohnya saja musyârakah, mudhârabah, ijârah, dan jenis  akad yang lain. Namun sangat disayangkan sekali penawaran yang dilakukan oleh pihak bank terhadap nasabah dalam akad muzâra’ah dan musâqâh masih sangat minim sekali.

Berbeda halnya dengan perekonomian mikro yang berkembang di pedesaan, kita bisa menemukan praktek akad ini walaupun itu juga hanya dalam skala kecil. Karena kondisi yang kita dapatkan di pemukiman kampung mendukung aplikasi akad ini.

Beberapa alasan yang bisa kita paparkan, mengapa aplikasi akad ini  sangat jarang ditemukan khusunya dalam pembiyaan perbankan Islam :

  1. Lamanya hasil akan dituai.
  2. Resiko yang ditanggung pihak bank sangat besar ketika praktek akad ini gagal.
  3. Besarnya biaya operasional dan tidak sebanding dengan hasil yang akan didapat.

Namun perbankan syariah perlu melirik pengembangan sistem ini, karena hal yang mesti diingat adalah keagrarisan negara kita yang terkenal subur dan memiliki lahan kosong siap garap. Potensi yang ada pada Indonesia sangat besar dalam hal ini, penerapan akad muzâra’ah dan musâqâh dapat membuka lapangan pekerjaan dan juga dapat membantu negara kita dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional.

Kita menemukan sistem bagi hasil yang ada pada transaksi syariah terdapat di dalam musyârakah, mudhârabah, muzâra’ah, mukhâbarah dan musâqâh. Tiga dari hal ini berkutat pada bidang pertanian. Ini menandakan bahwasanya Islam sangat memperhatikan sektor pertanian dan sejenisnya. Tidak kalah pentingnya lagi di dalam ilmu fiqh juga dikhususkan pembahasan zakat pertanian dan perkebunan. Maqâshid syarî’ah sangat sejalan dengan akad ini, karena dapat membantu manusia untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari hari dalam proses kelangsungan hidup. Akad muzâra’ah dan musâqâh sangat dibutuhkan dalam kehidupan masa ini, bahkan untuk masa yang akan datang.

  1. K.    Implikasi (Dampak) dari Sistem Muzâra’ah .

Diterapkannya bagi hasil sistem muzâra’ah  berdampak pada sektor pertumbuhan sosial ekonomi, seperti:

  1. Adanya rasa saling tolong-menolong atau saling membutuhkan antara pihak-pihak yang bekerjasama.
  2. Dapat menambah atau meningkatkan penghasilan atau ekonomi petani penggarap maupun pemilik tanah.
  3. Dapat mengurangi pengangguran.
  4. Meningkatkan produksi pertanian dalam negeri menuju swasembada pangan.
  5. Dapat mendorong pengembangan sektor riil yang menopang pertumbuhan ekonomi secara makro.
  6. Mengoptimalkan lahan-lahan yang tidak produktif dan mengubahnya menjadi produktif dan bermanfaat secara luas.
  1. L.     Sistem Bagi Hasil Pengolahan Lahan Pertanian dalam Hukum Positif di Indonesia.

Sementara aturan yang mengikat khususnya di Indonesia, pada tanggal 7 Januari 1960 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil. Adapun yang menjadi tujuan utama lahirnya undang-undang ini sebagaimana dikemukakan dalam memori penjelasan undang-undang itu, khususnya dalam penjelasan umum poin (3) disebutkan:

“Dalam rangka usaha akan melindungi golongan yang ekonominya lemah terhadap praktek-praktek yang sangat merugikan mereka, dari golongan yang kuat sebagaimana halnya dengan perjanjian bagi hasil yang diuraikan di atas, maka dalam bidang agraria diadakanlah undang-undang ini, yang bertujuan mengatur perjanjian bagi hasil tersebut dengan maksud”:

  1. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang adil.
  2. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar.
  3. Dengan terselenggaranya apa yang tersebut pada a dan b di atas, maka akan bertambah bergembiralah para petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program akan melengkapi “sandang pangan” rakyat.[16]

Kemudian dalam rangka perimbangan bagi hasil yang sebaik-baiknya antara kepentingan masing-masing pihak pemilik tanah dan penggarap telah dikeluarkan keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 211/1980 dan Nomor 714/Kpts/Um/9/1980 yang menjelaskan perimbangan hak antara pemilik tanah dan penggarap, yang mana dalam keputusan tersebut di atas dikemukakan pada poin kedua menetapkan sebagai berikut: Besarnya imbangan bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik.

Menurut Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, cara pembagian imbangan bagi hasil adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) yang mengatur mengenai besarnya bagian hasil tanah sebagai berikut :

  1. 1 (satu) bagian untuk penggarap dan 1 (satu) bagian untuk pemilik bagi tanaman padi yang ditanam di sawah.
  2. 2/3 (dua pertiga) bagian untuk penggarap serta 1/3 (satu pertiga) bagian untuk pemilik bagi tanaman palawija di sawah dan padi yang ditanam di ladang kering.

Sedangkan dalam ayat (2) pasal tersebut mengatur Hasil yang dibagi adalah hasil bersih, yaitu hasil kotor sesudah dikurangi biaya-biaya yang harus dipikul bersama seperti benih, pupuk, tenaga ternak, biaya menanam, biaya panen dan zakat.

Besarnya imbangan bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik diatur dalam Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 211 Tahun 1980 Nomor 714/Kpts/Um/9/1980 tentang Pedoman Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1980 adalah sebagai berikut:

  1. Jumlah biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga tanam dan panen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 dinyatakan dalam bentuk hasil natura padi gabah, sebesar maksimum 25 persen dari hasil kotor yang besarnya dibawah atau sama dengan hasil produksi rata-rata dalam Daerah kabupaten atau kecamatan yang bersangkutan dalam bentuk rumus seperti berikut:

Z = 1/4X

Dalam mana :

Z = biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga tanam dan panen.

X = hasil kotor.

  1. Jika hasil yang diperoleh penggarap tidak melebihi hasil produksi rata-rata Daerah Kabupaten/ kecamatan, maka hasil kotor setelah dikurangi biaya yang dihitung dengan rumus, dibagi dua sama besarnya antara penggarap dan pemilik tanah dalam bentuk rumus 1 : Hak penggarap = Hak pemilik = X-Z = X-1/4X
  2. Jika hasil yang dicapai oleh penggarap diatas hasil produksi rata-rata Daerah Kabupaten/ kecamatan, maka besarnya bagian yang menjadi hak penggarap dan pemilik sebagai berikut:

Hasil kotor sampai dengan hasil produksi rata-rata dibagi menurut rumus diatas.

Hasil selebihnya dari hasil produksi rata-rata dibagi antara penggarap dan pemilik dengan imbangan 4 bagian penggarap dan 1 bagian pemilik atau dalam bentuk rumus II:

Hak penggarap =Y-Z + 4(X-Y) = Y-1/4Y + 4(X-Y)

Hak pemilik = Y-Z + 1(X-Y) = Y-1/4Y +X-Y

Dimana Y = hasil produksi rata – rata daerah Kabupaten/ Kecamatan yang bersangkutan.

  1. Jika di suatu daerah bagian yang menjadi hak penggarap pada kenyataanya lebih besar dari apa yang ditentukan dalam rumus 1 dan rumus 11 di atas, maka tetap diperlukan imbangan yang lebih menguntungkan penggarap.
  2. Ketetapan Bupati /walikota mengenai besarnya imbangan bagi hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik, serta hasil produksi rata-rata disetiap hektar di Kabupaten/Kacamatan yang bersangkutan diberitahukan kepada DPRD Kabupaten/kota setempat.
  3. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No.2 tahun 1960 Pasal 7 zakat sisihkan dari hasil kotor yang mencapai nisob, untuk padi ditetapkan sebesar 14 kwintal.
  4. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 2 tahun 1960 Pasal 8 pemberi ‘srama’ oleh calon penggarap kepada pemilik tanah dilarang.
  5. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 2 tahun 1960 Pasal 9, pajak tanah sepenuhnya menjadi beban pemilik tanah dan dilarang untuk dibebankan kepada penggarap.
  1. M.   Sistem Bagi Hasil dalam Tradisi Masyarakat Indonesia

Sistem bagi hasil pengolahan lahan pertanian telah lama dikenal luas di kalangan masyarakat Indonesia dengan berbagai sebutan yang berbeda-beda. ditiap

daerah berbeda-beda penyebutannya seperti :

a. Memperduoi (Minang kabau)

b. Toyo (Minahasa)

c. Tesang (Sulawesi)

d. Maro (1:1), Mertelu (1:2), ( Jawa Tengah).

e. Nengah (1:1), Jejuron (1:2), (Priangan)

Selain tersebut di atas masih ada istilah lain dibeberapa daerah antara

lain:

Untuk daerah Sumatera
Aceh memakai istilah “mawaih” atau “Madua laba”(1:1),”bagi peuet” atau “muwne peuet”, “bagi thee”, “bagi limong“ dimana berturut-turut pemilik memperoleh bagian 1/4,2/3,1/5.
Tanah gayo memakai istilah “mawah”(1:1), tanah alas memiliki istilah “Blah duo” atau “Bulung Duo”(1:1).
Tapanuli Selatan memakai istilah “marbolam”,”mayaduai”.
Sumatera Selatan untuk Jambi memakai istilah “bagi dua”, “bagitiga“, Palembang memakai istilah “separoan”.
Untuk daerah Kalimantan:

Banjar memakai istilah “bahakarun”.
Lawang memakai istilah “sabahandi”.
Nganjuk memakai istilah “bahandi”.
Daerah Bali : istilah umum yang dipakai adalah “nyakap”, tetapi variasi lain dengan menggunakan sebutan “nondo” atau “nanding “ yang berarti “maro”, “nilon “, berarti mertelu(1:2), ”muncuin” atau “ngepatempat” berarti “mrapat”(1:3) dan seterusnya, dimana merupakan bagian terkecil untuk penggarap .
Daerah Jawa : memakai istilah “nengah” untuk “maro”,”mertelu”.
Madura : memakai istilah “paron” atau “paroa” untuk separo dari produksi sebidang tanah sawah sebagai upah untuk penggarap.


[1] Al-Jazairy, ‘Abdurrahman, al-Fiqh ‘alal Madzahib al-Arba’ah, hlm.5, vol.3, Dar el-Bayan al-‘Arobiyy, Mesir, 2005.

[2] Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, Vol. V, Dar al-Fikr, Damaskus, 2008, hal. 482

[3] Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah jilid 12, terjemahan : Kamaluddin A.Marzuki. Hlm 148.  Al-Ma’arif: Bandung.

[4] Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, op.cit, hlm 483.

[5] Mahmud Abdul  Karim Ahmad Irsyid, al-Syâmil fî muamalat wa amaliyyat al-Masharif al-Islâmiyyah,  Dar  an-Nafais Yordania, 2007, hal.151.

[6] Abu hanifah berpendapat bahwa akah Muzâra’ah pada awalnya merupakan akad Ijarah, baru kemudian berakhir dengan akad syarikah (kerjasama)

[7]  Ada dua macam Kharâj. Pertama adalah kharaj wadhifah, yaitu pembagian hasil yang diwajibkan tiap tahun atas bagian dari lahan tertentu yang telah dikuasai (dengan peperangan). Kedua adalah Kharaj muqasamah, yaitu pembagian nisbah tertentu dari hasil panen suatu lahan, setengah misalnya.

[8] Al-Jazairy, ‘Abdurrahman, al-Fiqh ‘alal Madzahib al-Arba’ah, op.cit. hlm 19

[9]  Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, op. cit. hal. 484.

[10] Hanâbilah berpendapat bahwa muzâra’ah dan musâqâh tidak memerlukan Kabul secara lisan, cukup si penggarap memulai pekerjaannya sudah dianggap sebagai Kabul

[11] Ibid., hal. 485.

[12] Ahmad Muhammad Mahmud Nassar, Al-Ististmâr Bil Musyârakah Fil Bunûk al-Islâmiyyah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Bairut, 1971. Hal. 56.

[13] Jumhur ulama sepakat bahwa akad Muzâra’ah akan rusak ketika poin 1 dan 2 terjadi, adapun dalam poin-poin selanjutnya terdapat perbedaan pendapat antara para ulama.

[14] Akad lazim  adalah akad yang telah memenuhi segala rukun dan syarat. Dalam akad ini tidak diperbolehkan adanya pembatalan akad secara sepihak  tanpa persetujuan pihak yang lain. Lain halnya dalam akad ghairu lazim, salah satu pihak boleh membatalkan akad tanpa persetujuan  pihak yang lain.

[15] Ibid., hal  484.

[16] Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, op.cit. hal. 491.

[17] Ibid., hal. 494

[18] Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, Mausu’ah al-Fiqh al-Islâmî  wal-Qadhâya al-Mu’âshirah, op. cit. hal 496-497.

Fiqih Pertanian: Muzara’ah (bagian 1)

Agri-Land-Wallpapers

Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya.[1] Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa dipahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising).[1]

Imam Qurthubi mengatakan bahwa Islam memandang pertanian ke dalam fardhu kifayah, artinya mesti ada kaum muslimin yang berperan dan menjalankan fungsi pertanian ini. Karena itu wajib bagi imam (pemimpin) memaksakan manusia ke arah itu, dan apa saja yang termasuk pengertiannya; dalam bentuk menanam pepohonan.[2]

Bagian terbesar penduduk dunia bermata pencaharian dalam bidang-bidang di lingkup pertanian, namun pertanian hanya menyumbang 4% dari PDB dunia. Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena sektor – sektor ini memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2002, bidang pertanian di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44,3% penduduk meskipun hanya menyumbang sekitar 17,3% dari total pendapatan domestik bruto. Di tahun 2011, International Labour Organization (ILO) menyatakan bahwa setidaknya terdapat 1 miliar lebih penduduk yang bekerja di bidang sektor pertanian. Pertanian menyumbang setidaknya 70% jumlah pekerja anak-anak, dan di berbagai negara sejumlah besar wanita juga bekerja di sektor ini lebih banyak dibandingkan dengan sektor lainnya. [3]

Islam memberikan perhatian yang serius terhadap masalah pertanian terutama karena ia adalah sektor penghasil pangan bagi manusia. Sejarah mencatat bahwa Rasulullah SAW dan kaum Muhajirin ketika sudah berhijrah ke Madinah hampir seluruhnya terjun ke dunia pengelolaan lahan pertanian , termasuk para khulafaurrasyidin, bahkan istri-istri Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan melalui Imam Bukhari, Muhammad al Baqir bin Ali bin Al-Husain ra. Berkata: “Tidak ada seorang muhajirin pun yang ada di Madinah kecuali mereka menjadi petani dengan mendapatkan sepertiga atau seperempat. Dan Ali, Said bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul ‘Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan Ibnu Sirrin, semua terjun ke dunia pertanian.”[4]

Namun sangat disayangkan, sektor pertanian ini di tanah air kita mulai ditinggalkan, salah satu faktornya adalah semakin menurunnya tingkat kesejahteraan petani yang diakibatkan oleh banyak hal, diantaranya adalah karena kebijakan umum pemerintah yang kurang berpihak pada pengelolaan pertanian di dalam negeri, tergiurnya golongan angkatan kerja baru kepada sektor industri yang nampak lebih menjanjikan dibandingkan sektor pertanian, dan sistem pengelolaan lahan pertanian yang masih kurang efektif, menyempitnya lahan tanam, serta rendahnya daya jual hasil pertanian di tanah air. Hal ini membawa dampak makro yang sangat dirasakan penduduk Indonesia, salah satunya adalah meningkatknya kebutuhan impor bahan-bahan pangan dari negara-negara lain. Hal ini sangat ironis dikarenakan lahan Indoesia pada dasarnya sangat subur dengan iklim yang bersahabat, namun karena lahan yang ada tidak dimanfaatkan secara baik, maka sektor pertanian pun semakin lama semakin bangkrut.

Data statistik nasional mengenai lahan pertanian pun sangat mencengangkan, berdasarkan data Kadin, luas lahan pertanian di Indonesia 2013 ini hanya mencapai 7,75 juta hektar dengan populasi 240 juta orang. Angka tersebut hanya 1/4 dari luas lahan yang dimiliki Thailand yang mencapai 31,84 juta hektar dengan populasi 61 juta orang. “Kepemilikan lahan per keluarga itu tergolong terendah di dunia. terutama sawah dan perkebunan. Luas lahan per kapita per orang hanya 0,03 hektar,” kata Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Didik J. Rachbini dalam sebuah diskusi Pertanian dan Pangan di Menara Kadin (14/6/2013).[5]

Tanggal 1-31 Mei 2013, Badan Pusat Statistik mengadakan Sensus Pertanian 2013. Sensus Pertanian diselenggarakan 10 tahun sekali di tahun berekor angka tiga. Dalam perspektif ekonomi, hasil SP 2003 memberi gambaran negatif karena penyempitan lahan pengusahaan petani terus berlanjut, baik karena fragmentasi lahan melalui pewarisan maupun pengalihan fungsi lahan pertanian guna berbagai keperluan hidup manusia Setiap tahun lebih kurang 100.000 hektar lahan pertanian dikonversi untuk penggunaan lain. Data BPS menunjukkan, dalam kurun 1992-2009, Jawa Barat mengalami pengurangan luas lahan pertanian 247.273 ha. Rata-rata lahan pengusahaan petani di Pulau Jawa menurut SP 2003 adalah 0.3 ha per keluarga, padahal 10 tahun sebelumnya, menurut SP 1993, masih 0,48 ha.

Jumlah petani gurem (petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha per keluarga) meningkat. Jika pada 1993 secara nasional jumlah petani gurem 10,9 juta keluarga, pada SP 2003, angka itu naik menjadi 13,7 juta keluarga, bertambah 3.8 juta keluarga dalam 10 tahun. Di Pulau Jawa, dari setiap empat petani, tiga adalah petani gurem. Meningkatnya jumlah petani gurem dan buruh tani menjadi penyebab meningkatnya kemiskinan di desa.

Dalam rentang waktu SP 1993-2003-2013, negara telah membiarkan pemiskinan rakyat berlangsung di depan mata. Kita menjadi negara yang menganggap petani yang hidup miskin dengan ekonomi sub-sisten sebagai hal wajar, hal yang sepatutnya. Pemiskinan petani berlangsung cepat karena negara membiarkan berlangsungnya penyempitan lahan pengusahaan per keluarga petani. Kecilnya skala ekonomi usaha para petani kita adalah penyebab utama miskinnya petani, juga penyebab utama proses produksi pangan kurang efisien karena lambatnya mekanisasi yang menjadikan daya saing rendah.[6]

Lahan pertanian dan pengolahannya pada umumnya terdapat di daerah pedesaan karena lahan di pedesaan cenderung lebih luas dengan tingkat polusi rendah. Orang yang mengolah lahan pertanian dan bercocok tanam, yang biasa dikenal dengan istilah petani, sebagian dari mereka ada yang memiliki lahan sendiri untuk digarap, yang luasnya bervariasi, tapi ada juga yang tidak memiliki lahan sendiri untuk digarap sehingga untuk mencukupi kebutuhannya, mereka bekerjasama dengan yang memiliki lahan untuk menggarap lahan pertaniannya dengan imbalan bagi hasil. Namun ada juga mereka yang telah memiliki lahan sendiri, dikarenakan lahannya sedikit maka hasilnya belum mencukupi kebutuhan hidupnya, untuk menambah penghasilan mereka juga bekerja di lahan milik orang lain dengan imbalan bagi hasil pertanian. Terdapat juga pemilik yang mempunyai beberapa bidang tanah tetapi tidak dapat menggarapnya karena suatu sebab sehingga penggarapannya diwakili orang lain dengan mendapat sebagian hasilnya.

Dalam istilah fiqih klasik sistem bagi hasil dalam kerjasama pengelolaan lahan pertanian dikenal dengan istilah muzâra’ah  dan mukhabarah. Praktek muzâra’ah  mengacu pada prinsip Profit and Loss Sharing System. Dimana hasil akhir menjadi patokan dalam praktek muzâra’ah . Jika, hasil pertaniannya mengalami keuntungan, maka keuntunganya dibagi antara kedua belah pihak, yaitu petani pemilik sawah dan petani penggarap. Begitu pula sebaliknya, jika hasil pertaniannya mengalami kerugian, maka kerugiannya ditanggung bersama. Dalam prakteknya, muzâra’ah  sudah menjadi tradisi masyarakat petani di pedesaan. Khususnya di tanah Jawa, praktek ini biasa disebut dengan Maro, Mertelu dan Mrapat. Maro dapat dipahami keuntungan yang dibagi separo-separo (1/2:1/2), artinya separo untuk petani pemilik sawah dan separo untuk petani penggarap. Jika mengambil perhitungan mertelu, berarti nisbah bagi hasilnya adalah 1/3 dan 2/3. Bisa jadi 1/3 untuk petani pemilik sawah dan 2/3 untuk petani penggarap, atau sebaliknya sesuai, dengan kesepakatan antara keduanya.

Sistem bagi hasil ini merupakan sistem yang amat baik untuk diterapkan bila dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat yang meminimalisir ketidakadilan. Namum sangat disayangkan, di tanah air kita ini yang semakin bertambah jumlahnya adalah buruh tani yang diupah hanya Rp.8000-11.000 per-hari untuk mengolah lahan pertanian milik orang lain, dan sisanya yang terbesar jumlahnya adalah petani gurem, yaitu petani yang mempunyai lahan kurang dari 0,25 hektar, yang rata-rata penghasilannya hanya Rp.20.000/hari.

 


[1] Wikipedia.com, diakses pada 12 /12/2013 pukul 22:44 WIB.

[2] Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah jilid 12, terjemahan : Kamaluddin A.Marzuki. Hlm 146. Al-Ma’arif: Bandung.

[3] Wikipedia.com, diakses pada 12 /12/2013 pukul 22:52 WIB.

[4] Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah jilid 12, terjemahan : Kamaluddin A.Marzuki. Hlm 147. Al-Ma’arif: Bandung.

[6] http://hargajateng.org/sensus-pertanian-2013.html, diakses pada 12/12/2013 pukul 23:21

Eutanasia Dalam Pandangan Fiqh Islam

Karya : Yusuf Qaradhawi

eutanasia

PENGANTAR

 

Ini merupakan satu persoalan yang sampai kepada saya di antara sekian banyak persoalan mengenai kedokteran Islam dan hukum-hukumnya serta adab-adabnya, yang disampaikan lewat surat oleh Ikatan Dokter Islam Afrika Selatan. Persoalan pertama mengenai masalah berikut:

 

QATL AR-RAHMAH ATAU TAISIR AL-MAUT (EUTANASIA)

 

Pengertian qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia) ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.

 

Yang dimaksud taisir al-maut al-fa’al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit –karena kasih sayang– yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Beberapa contoh di antaranya:

 

1. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.

 

2. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat pernapasan, sedangkan dokter berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan. Alat pernapasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut dihentikan, si penderita tidak mungkin dapat melanjutkan pernapasannya. Maka satu-satunya cara yang mungkin dapat dilakukan adalah membiarkan si sakit itu hidup dengan mempergunakan alat pernapasan buatan untuk melanjutkan gerak kehidupannya. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai “orang mati” yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.

 

Hal ini berbeda dengan eutanasia negatif (taisir al- maut al-munfa’il) Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Contohnya seperti berikut:

 

1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati –padahal masih ada kemungkinan untuk diobati– akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.

 

2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita tashallub al-Asyram (kelumpuhan tulang belakang) atau syalal almukhkhi (kelumpuhan otak). Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan –tanpa diberi pengobatan– apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.

 

At-tashallub al-asyram atau asy-syaukah al-masyquqah ialah kelainan pada tulang belakang yang bisa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan kemampuan/kontrol pada kandung kencing dan usus besar. Anak yang menderita penyakit ini senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya.

 

Sedangkan asy-syalal al-mukhkhi (kelumpuhan otak) ialah suatu keadaan yang menimpa saraf otak sejak anak dilahirkan yang menyebabkan keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan badannya dengan tingkatan yang berbeda-beda. Anak yang menderita penyakit ini akan lumpuh badan dan pikirannya serta selalu memerlukan bantuan khusus selama hidupnya.

 

Dalam contoh tersebut, “penghentian pengobatan” merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.

 

PERTANYAAN

 

Berkaitan dengan permasalahan tersebut muncul pertanyaan- pertanyaan berikut:

 

1. Apakah memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) ditolerir oleh Islam?

 

2. Apakah memudahkan proses kematian secara pasif (eutanasia negatif) juga diperbolehkan dalam Islam?

 

JAWABAN

 

Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) seperti pada contoh nomor satu tidak diperkenankan oleh syara’. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara seperti tersebut dalam contoh, dengan pemberian racun yang keras, dengan penyengatan listrik, ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.

 

Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Dzat Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta’ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.

 

Adapun contoh kedua dari eutanasia positif ini kita tunda dahulu pembahasannya setelah kita bicarakan eutanasia negatif.

 

EUTANASIA NEGATIF (MENGHENTIKAN/TIDAK MEMBERIKAN PENGOBATAN)

 

Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif (eutanasia negatif) sebagaimana dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itu –baik dalam contoh nomor satu maupun nomor dua– berkisar pada “menghentikan pengobatan” atau tidak memberikan pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.

 

Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara’ ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah,1 dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).

 

Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya, lalu beliau menjawab:

 

“‘Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.’ Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. ‘Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.’ Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya.”2

 

Disamping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi’in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan diantara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka’ab dan Abu Dzar radhiyallahu’anhuma. Namun demikian, tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.3

 

Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam “Kitab at-Tawakkul” dari Ihya’ Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.4

 

Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar diantara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi –lebih sedikit dari golongan kedua– berpendapat wajib.

 

Dalam hal ini saya sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta’ala.

 

Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma’ad.5 Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.

 

Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya –yaitu para dokter– maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.

 

Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan –dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern– dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.

 

Maka memudahkan proses kematian (taisir al-maut) –kalau boleh diistilahkan demikian– semacam ini tidak seyogyanya diembel-embeli dengan istilah qatl ar-rahmah (membunuh karena kasih sayang), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi.

 

Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara’ –bila keluarga penderita mengizinkannya– dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.

 

MEMUDAHKAN KEMATIAN DENGAN MENGHENTIKAN PENGGUNAAN ALAT BANTU PERNAPASAN

 

Sekarang saya akan menjawab contoh kedua dari eutanasia positif menurut pertanyaan tersebut –bukan negatif– yaitu menghentikan alat pernapasan buatan dari si sakit, yang menurut pandangan dokter dia dianggap sudah “mati” atau “dihukumi telah mati” karena jaringan otak atau sumsum yang dengannya seseorang dapat hidup dan merasakan sesuatu telah rusak.

 

Kalau yang dilakukan dokter itu semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini sama dengan tidak memberikan pengobatan. Dengan demikian, keadaannya seperti keadaan lain yang diistilahkan dengan ath-thuruq al-munfa’ilah (jalan-jalan pasif/eutanasia negatif).

 

Karena itu, saya berpendapat bahwa eutanasia seperti ini berada di luar daerah “memudahkan kematian dengan cara aktif” (eutanasia positif), tetapi masuk ke dalam jenis lain (yaitu eutanasia negatif; Penj.)

 

Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan syara’, tidak terlarang. Lebih-lebih peralatan-peralatan tersebut hanya dipergunakan penderita sekadar untuk kehidupan yang lahir –yang tampak dalam pernapasan dan peredaran darah/denyut nadi saja– padahal dilihat dari segi aktivitas maka si sakit itu sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak dapat merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua itu telah rusak.

 

Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.

 

Saya telah mengemukakan pendapat seperti ini sejak beberapa tahun lalu di hadapan sejumlah fuqaha dan dokter dalam suatu seminar berkala yang diselenggarakan oleh Yayasan Islam untuk ilmu-ilmu Kedokteran di Kuwait. Para peserta seminar dari kalangan ahli fiqih dan dokter itu menerima pendapat tersebut.

 

Segala puji kepunyaan Allah yang telah memberi petunjuk kepada kita ke jalan Islam ini, dan tidaklah kita akan mendapat petunjuk kalau bukan Allah yang menunjukkan kita.

 

Catatan kaki: 1 Al-Fatawa al-Kubra, karya Ibnu Taimiyah, juz 4, hlm. 260, terbitan Mathba’ah Kurdistan al-Ilmiah, Kairo. 2 Muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam “Kitab al-Mardhaa” dan Muslim dalam “Kitab al-Birr wash-Shilah,” hadits nomor 2265. 3 Ibnu Taimiyah, op cit. 4 Ihya ‘Ulumuddin, juz 4, hlm. 290 dan seterusnya. 5 Zadul-Ma’ad, juz 3, terbitan ar-Risalah, Beirut.

 

Semoga bermanfaat 🙂